28 May 2016

Perasaan yang masih sama

Baca sebelumnya: Akhir yang aku harapkan dari kisah kita.

Aku memasuki gang rumahku sambil memandangi kendaranmu yang perlahan menjauh. Baru beberapa detik kamu pergi, namun rasa rindu di hatiku kembali membesar lagi. Sejak siang tadi, aku makin sadar bahwa ini perasaan cinta. Saat menatap matamu yang bisa dibilang hanya segaris itu, entah mengapa aku menemukan keteduhan di sana. Matamu selalu berhasil membuatku rindu. Matamu selalu berhasil membawaku pulang. Matamu selalu berhasil membuat aku tidak sabar untuk pertemuan kita berikutnya.

Di langit Cibinong siang itu, seusai menjalani kelas Yoga, kita berjanji bertemu di salah satu rumah makan di Cibinong City Mall. Aku menjumpaimu duduk di ujung jendela, menatap ke luar jalanan. Mungkin, kamu menatap ke gapura bertuliskan "Selamat Datang Di Kabupaten Bogor" yang menjadi pemandangan di luar restoran kita. Segera aku duduk di depanmu dan menatapmu dengan tatapan mendalam. Aku sangat merindukanmu setelah empat hari kita tidak bertemu. Ternyata, kita memang butuh jarak dan waktu, untuk menjaga dan mencari tahu, siapa yang paling tidak tahan untuk mengusahakan sebuah pertemuan. Dan, ya, kamu selalu kalah. Selalu kamu yang meminta sebuah pertemuan. Dengan begini, kamu akan tahu, perempuan adalah mahluk paling gengsi nomor satu. Perempuan adalah mahluk yang tidak ingin memulai segalanya lebih dulu. Namun, jauh di dalam lubuk hatinya, sebenarnya dia ingin menatapmu, memelukmu, mencubitmu, mengecupmu, dan turut membebaskan kekangan rindu di dadanya. Kamu selalu kalah untuk tidak mengajakku bertemu lebih dulu, sementara aku selalu kalah untuk tidak menunjukan betapa aku rindu kamu dan ingin menghabiskan sisa waktu kita sambil menatap dan merangkulmu.

Seusai menyatap makanan berdua, kamu menggenggam jemariku dan mengajakku ke Gramedia di lantai atas. Aku tidak mengerti maksud dan tujuanmu, jadi aku menurut saja ketika kamu membawa tas fitness-ku yang berat itu, dan mengikuti langkah kakimu. Saat itu, kamu memperlakukanku layaknya kekasih. Kamu cukup membuatku melayang dengan caramu merangkulku, mengenggam jemariku, dan berkali-kali berbisik betapa kamu mencintai aku. Aku menaiki eskalator sambil tertawa ke arahmu, tidak berani aku memberi respon berlebih, karena aku tahu betul kita bukan sepasang kekasih, dan aku cukup sadar diri jika aku berharap lebih maka hanya berujung pada rasa sakit hati. Aku sudah jatuh cinta padamu dan caramu memperlakukanku seperti siang tadi bisa saja membuatku semakin mencintaimu dan semakin takut kehilangan kamu.

Sesampainya di Gramedia, kamu masih memegang pinggulku, dan meliak-liuk di antara rak buku. Dengan cepat, kamu mencari-cari semua rak yang berisi bukuku. Kamu tertawa manis sambil menunjuk-nunjuk bukuku. Kamu makin tergelak ketika ada orang yang membeli bukuku, sementara orang itu tidak tahu penulisnya ada di depan rak buku tersebut. Aku segera menarik kamu pergi karena bisa saja kamu bisa lebih aneh daripada tadi. Sedikit sikap bodohmu itu cukup membuatku gemas. Andai aku bisa mencubit dan meraih pipimu kala itu, andai aku bisa mencuri waktu untuk sesekali mengecup pipimu, sayangnya-- aku bukan kekasihmu. Aku cukup bisa tertawa dalam hati, membayangkan segala mimpi yang sudah kubangun di kepalaku bisa segera aku wujudkan bersamamu.

Hari ini, tidak ada kesedihan yang berlebihan. Aku hanya ingin menikmati hari tanpa mengingat seberapa jauh kamu sudah menyakitiku. Bagiku, tetap berada di sisimu dan tetap bisa merasakan pelukmu sudah lebih dari cukup. Kamu sudah memenuhi ruang kosong di hatiku, sudah miliki seluruh rasa cintaku, sayangnya mungkin aku tidak punya ruang di hatimu dan rasa cintamu tidak hanya sepenuhnya untukmu. 

Di atas sepeda motormu, aku memelukmu seakan waktu berjam-jam yang telah kita lewati masih belum cukup untuk menuntaskan perasaan rinduku. Langit Cibinong malam ini seperti memberikan isyarat bahwa hujan segera turun. Tidak ada bintang dan hanya ada udara dingin yang menyeruak. Sambil memperhatikan atraksi kuda lumping di lampu merah, kamu terus menerus memanggil namaku, dan mengucapkan kata-kata cinta yang semakin membuat aku bertanya. Jika kita memang saling jatuh cinta, mengapa tidak kita akhiri saja semua dengan status yang jauh lebih jelas. Ingin rasanya aku berteriak itu di telingamu, tapi tidak mungkin karena aku tahu betul kekasihmu tidak akan melepaskanmu pergi begitu saja.

Aku tahu betul ini bodoh. Aku tahu betul memeluk dan merangkulmu adalah suatu kesalahan. Aku juga tahu mungkin hubungan kita tidak akan berakhir dalam kebahagiaan. Tapi, biarlah aku habiskan sisa-sisa waktuku bersamamu karena aku paham ini tidak akan berjalan lama. Semua orang akan mudah menyalahkan kita tanpa mereka tahu seberapa jauh kita telah berjuang. Aku dan kamu tidak bisa melawan pada cinta yang bisa saja datang tidak tepat waktu. Kita jatuh cinta di waktu yang salah, sementara aku dan kamu tidak tahu caranya untuk berhenti serta mengendalikan diri.

Aku tahu betul ini bodoh, tapi biarkan aku dan kamu habiskan sisa waktu kebersamaan kita, karena saat waktu itu tiba-- aku dan kamu akan kembali menjadi dua orang asing yang tidak saling kenal. Biarkan aku menikmati sisa-sisa waktu kebahagiaan bersamamu, sebelum semua orang menyuruh kita mengakhiri ini semua, kemudian perpisahan dengan segera menjadikan kita kembali tak kenal. Biarkan aku menghabiskan sisa-sisa waktu yang kita miliki ini, dengan kebahagiaan, bukan dengan kesedihan. Kesedihan punya porsinya sendiri dan aku tahu semua kesedihan itu akan dimulai ketika aku pada akhirnya harus melepaskanmu pergi.

Sebelum kamu pergi, biarkan aku bisa meninggalkan kesan, setidaknya di ingatanmu. Bahwa ada seseorang yang menjaga perasaannya, yang tidak mengubah perasaannya, ketika dia tahu kamu tidak bisa dimiliki oleh dia satu-satunya. Sebelum ini semua berakhir, aku hanya ingin membuatmu paham, mungkin saja perasaan yang aku miliki masih sama, bahkan ketika kamu menjauh dan menganggapku tidak pernah jadi bagian dalam hidupmu.

Semua waktu-waktu sedih itu akan datang. Jadi, dalam sisa waktu kita yang sebentar, aku hanya ingin membuatmu mengerti, perempuan yang paling mencintaimu sebenarnya adalah perempuan yang tidak memaksakan kehendaknya untuk memilikimu. Justru, dia yang paling mencintaimu adalah dia yang membiarkanmu terbang mengejar impian yang kauanggap benar, sambil bersabar menunggumu pulang.

Aku akan tetap jadi perempuan yang menunggumu pulang. Dengan perasaan yang tentu saja masih sama di dadaku.


Harusnya kamu sudah tahu itu,
bahkan sejak pertama kali kulihat matamu,
bahkan sejak pertama kali kubilang;
bahwa saat ini aku hanya mencintaimu.

Baca lanjutannya:
Aku sudah cukup bahagia menatapmu dari sini

******

Sudah punya buku Dwitasari yang judulnya apa saja? Yuk, baca informasi buku Dwitasari di sini :)

Akhir yang aku harapkan dari kisah kita

Baca sebelumnya: Salahkah Jika Aku Berharap Kamu Kembali?

Aku memandangi wajahmu dengan rasa rindu yang mungkin hanya aku dan Tuhan pahami. Kamu yang sejak tadi kupandangi hanya tersenyum jahil berharap pandanganku tidak lagi mengarah padamu. Dalam hitungan jam, kita sudah berbincang banyak hal, namun mengapa aku masih belum bosan untuk mengalihkan padanganku kepada yang lain? Berhari-hari, aku tidak menatapmu, rasanya dua hari saja tidak memandangimu cukup membuat rasa rinduku menderas seperti hujan di langit Cibinong sore itu.

Aku tidak bisa berbohong bahwa aku semakin mencintaimu. Aku semakin jatuh cinta pada caramu memandangiku, caramu memelukku, caramu merangkul bahuku, caramu membisikan kata-kata manis di telingaku, caramu menggenggam jemariku, caramu memanggil namaku, dan cara-cara lain yang kaulakukan-- yang selalu berhasil membuatku bahagia. Aku tidak bisa berbohong bahwa hanya chat darimulah yang aku tunggu. Kamu adalah notifikasi favoritku. Kamu adalah suntikan keajaiban yang membuatku selalu bahagia menatap layar ponselku. Ketika namamu tertera di sana, cepat-cepat aku membalas, dan berharap balasan darimu juga segera masuk. Hingga hari ini, hanyalah kamu yang kunanti, tapi aku cukup sadar diri bahwa kebahagiaan ini mungkin saja segera berakhir.

Aku cukup sadar diri bahwa kamu tidak akan mungkin bisa aku miliki. Aku cukup tahu bahwa aku dan kamu bisa saja segera berakhir, tanpa alasan dan penjelasan, tanpa ucapan perpisahan. Aku cukup paham bahwa kamu bukan seutuhnya milikku karena keberasamaan kita memang hanyalah kebahagiaan sesaat yang akan segera hilang dengan pergantian musim atau bahkan bulan. Aku tahu ini semua akan segera berakhir bahkan sebelum kamu benar-benar mengerti seberapa dalam perasaanku. Aku juga tahu hubungan kita otomatis akan berakhir, bisa saja berakhir kapan pun, karena aku tahu di mana posisiku berdiri saat ini.

Semua tentang akhir. Mungkin, kebahagiaan tidak akan pernah jadi milik kita dalam jangka panjang. Maka, kubiarkan kamu memelukku dengan erat, sebelum kita benar-benar berpisah. Kubiarkan kamu tetap berbisik sambil memanggil namaku dengan lembut karena mungkin ini bisa saja pertemuan terakhir kita. Kamu juga tahu, hubungan kita penuh banyak kejutan, kita tidak akan pernah tahu kapan hadirnya perpisahan, yang aku dan kamu tahu adalah bahwa kita masih punya waktu untuk menikmati sisa-sisa waktu yang kita berdua miliki.

Seringkali, di tengah-tengah pelukmu, kamu menceritakan tentang kekasihmu. Saat itu, mungkin kamu tidak memikirkan betapa sesaknya dadaku, betapa sesaknya menerika kenyataan bahwa mungkin aku hanyalah pelarian untuk menghilangkan kebosanan. Ketika kamu menceritakan tentang kekasihmu, aku memilih mendengarkan dengan baik, sambil menatap matamu dalam-dalam, berusaha mencari kesungguhan dalam mata itu, berusaha menjawab pertanyaan; adakah aku dalam mata dan hatimu? Apa yang aku temukan? Aku juga menemukan diriku dalam matamu. Aku menemukan sosok bayanganmu dalam matamu. Tapi, bayangan itu menghilang, memudar, seakan sebuah isyarat bahwa kesalahan ini harus segera kita akhiri.

Kamu selalu begitu. Membawa amarah, api, dan tangismu, ke dalam bahuku. Kamu pasti begitu. Melarikan segara marah dan kesalmu, mengarahkan cerita sebalmu tentang kekasihmu, dan menumpahkan segalanya padaku. Lalu, ketika aku berhasil memandamkan apimu, kamu akan dengan setia berbalik arah. Setelah aku berhasil sembuhkan lukamu, kamu dengan cepat pergi meninggalkanku. Jelas, ini sangat tidak adil bagiku, bagi orang yang juga mencintaimu. Tidak bisakah kamu tinggal lebih lama lagi dan memelukku lebih hangat sekali lagi? Karena aku bosan menunggu di beranda rumah, berharap kamu pulang setelah lelah berperang, dan mengingat bahwa masih ada orang yang menunggumu datang masuk ke dalam peluknya.

Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan sekarang. Apakah aku harus lari atau aku cukup diam saja dan menganggap semua tidak pernah terjadi? Apakah aku harus bersikap biasa saja, tetap mencintaimu seperti kemarin-kemarin, dan menganggap pelukmu serta ucapan cintamu bukanlah bualan? Aku tahu ucapan cintamu tidak pernah berbohong. Aku tahu betul, matamu tidak akan berhasil membohongiku. Tapi, yang selalu menjadi pertanyaanku adalah jika kamu mencintaiku mengapa kamu tidak membiarkan dirimu hanya dimiliki oleh satu hati?

Aku tidak tahu siapa pemilik hatimu yang sesungguhnya. Yang aku tahu, kamu hanyalah pria biasa, yang tidak mencintai sisi malaikat dalam diriku, justru kamu mencintai iblis dalam diriku. Kamu mencintai keliaranku, kamu mencintai cara berpikirku yang berbeda dari yang lainnya, kamu mencintai caraku melanggar segala macam peraturan demi memperjuangkan yang aku anggap benar, kamu mencintai sisi gelapku, kamu mencintaiku dalam keremangan yang menghangatkan. Yang aku suka darimu, kamu tidak sedang memaksa aku untuk memiliki sikap yang sangat malaikat, kamu justru membisikan hal-hal menyejukan yang selalu berhasil mendiamkan iblis jahat dalam diriku.

Kita sama-sama hadir dari kegelapan. Kita sama-sama gelap. Dan, percayakah kamu bahwa semua gelap akan menemukan terang di ujung jalan?

Aku ingin ke ujung jalan. Bersamamu.

Untuk pria yang belum percaya,
bahwa jalan pulang terdekat,
selalu lebih baik,
daripada jalan pulang terjauh.

Baca lanjutannya di:
Perasaan yang masih sama

******

Sudah punya buku Dwitasari yang judulnya apa saja? Yuk, baca informasi buku Dwitasari di sini :)

24 May 2016

Salahkah Jika Aku Berharap Kamu Kembali?

"Kamu pergi ketika saya sudah sangat nyaman bersamamu. Kamu lari ketika saya sudah sangat mencintamu. Kamu menghilang tanpa bilang-bilang, sementara aku yang terlanjur mencintaimu hanya bisa berharap Tuhan membuatmu sadar. Bahwa di sini, ada aku, yang mendoakanmu tanpa henti." - @dwitasaridwita


Aku duduk di kafe tempat pertama kali kita bertemu. Kafe yang kautunjukan untukku sebagai tempat menulis yang menyenangkan di sekitar tempatku dan tempatmu. Di langit Cibinong yang sedang hujan deras, aku meneguk lychee tea yang dingin. Ada kehampaan di sini yang aku rasakan karena tidak ada kamu yang duduk di sampingku. Dan, suara Marcell, tidak menjadi penenang bagiku. Lagu Firasat mengalun di telinga, menjalar ke hatiku, kemudian membuat dadaku sesak.

Aku ingat saat pertama kali bertemu denganmu di sini, setelah puluhan kali kamu memintaku bertemu, dan aku terus menolaknya. Hari itu, kutemukan dirimu yang sedang merokok di dekat meja kasir. Aku menghampirimu dan menyalami tanganmu. Saat itu, mata kita bertemu, dan bolehkah aku mengaku, hari itu-- aku sudah jatuh cinta padamu. Kita berbicara seakan tidak akan pernah kehabisan bahan celotehan. Aku langsung jatuh cinta pada caramu tersenyum, pada suara tawamu, pada caramu memanggil namaku, pada asap rokokmu yang membumbung di udara, dan pada caramu menatapku.

Setelah hari itu, kamu menjelma menjadi pria yang pesannya selalu aku tunggu. Aku menunggu kesibukanmu usai agar malam hari kita bisa berkomunikasi, agar bisa kudengar suaramu dari ujung telepon, dan agar rasa rindu yang penuh di dadaku bisa sedikit mengecil atau mereda. Tapi, aku tidak bisa menahan diri untuk tidak merindukanmu. Rasa itu semakin membungkamku ketika aku harus mengisi workshop penulisan novel di Bangkalan, Madura. Kamu terus memantauku di tengah kesibukanmu. Kamu mengirimku sebuah nyanyian melalui voice note. Meskipun saat itu berada sangat jauh denganmu, namun kurasakan napas dan dirimu selalu mengikutiku.

Sepulang dari Bangkalan, Madura, kita memutuskan untuk kembali bertemu pada pertemuan kedua. Aku membawa rasa rindu yang menggebu di dadaku, tetapi kamu ternyata membawa kabar buruk untukku. Di tengah rangkul pelukmu yang hangat, kamu akhirnya mengaku bahwa kamu sangat mencintaiku. Dengan anggukan bahagia, aku menatapmu terharu, kamu mengecup keningku. Kebahagiaanku merangkak naik menuju level tertinggi. Beberapa detik kemudian, kamu mulai menceritakan kisah hidupmu, hingga pada kisah bahwa sebenarnya kamu telah memiliki kekasih terlebih dahulu sebelum mengenalku. Tahukah kamu apa yang kurasakan saat itu? Rasanya aku ingin meledak, melepas pelukmu, dan aku merasa marah pada diriku sendiri.

Selama kedekatan kita, kamu memang tidak memberi status hubungan apapun. Aku pun tidak memaksakan agar kita segera memiliki status, tapi mengapa aku marah ketika tahu kamu sudah bersama yang lain? Aku menatap matamu dengan mataku yang berair. Kamu menangkap kesedihan itu dan segera memelukku dengan erat. Namun, mengapa aku tidak bisa melepaskan pelukmu yang erat itu? Peluk yang bukan hakku, peluk yang bukan milikku. Dalam pelukmu, aku menangis sejadi-jadinya. Rasanya sangat tidak adil, aku sedang berada di puncak sangat mencintaimu, dan kenyataan yang kaubicarakan itu benar-benar telah menghancurkan mimpi-mimpi megah yang telah aku bangun.

Aku sudah membayangkan suatu hari akan mengenalkanmu pada ibuku. Aku sudah berharap bisa membawamu serta ke dalam workshop-workshop menulis novel di sekitar Jakarta. Aku sudah membayangkan bahagianya bisa berada dalam status hubungan yang spesial bersamamu. Aku membayangkan setiap hari berpeluk denganmu di tengah kesibukan kita berdua. Kamu sudah membuatku terbiasa dengan pelukmu, dengan hangatnya kecupmu, dengan rasa humoris yang selalu kautunjukan padaku, dengan keliaran menyenangkan yang hanya kita ketahui berdua, dengan segala hal bodoh yang membuat aku bisa menjadi diriku sendiri ketika bersamamu, namun mengapa kaujustru pergi ketika kamu telah membuatku sangat terbiasa pada kebahagiaan akan hadirmu?

Hingga hari ini, aku masih merasa semua tidak adil. Kamu bilang kamu sangat mencintaiku, tapi semalam kamu menginginkan hubungan kita segera berakhir. Dengan alasan kamu tidak ingin membohongiku dan menyakitiku terlalu jauh. Tapi, sebagai yang bukan siapa-siapa, memang aku tidak berhak melarang apa-apa. Bagaimana mungkin aku begitu mudah terjebak pada segala perlakuan manismu, ketika aku pada akhirnya tahu-- kamu sudah lebih dulu memiliki kekasih yang lain. 

Andai kautahu, aku masih mencintaimu sedalam ketika kita pertama kali bertemu. Aku masih mencintaimu, sekuat ketika pertama kali kamu mengecup keningku. Aku masih mencintaimu, semagis ketika pertama kali kausebutkan namamu. Aku masih mencintaimu, seperti pertama kali pelukmu benar-benar menghangatkanku. Aku masih mencintaimu, bahkan ketika kamu memilih pergi dari hidupku dengan alasan yang tidak aku pahami sama sekali, dengan alasan klise yang sulit kuterima dengan logika.

Aku merasa sangat kehilangan, meskipun mungkin kamu tidak merasakan apa-apa. Aku merasa takut kehilangan, meskipun kamu bukan milikku. Aku merasa kehilangan, kehilangan harapan yang telah susah payah kubangun untukmu. 

Kembalilah padaku ketika kamu bosan dengan kekasihmu. Aku akan tetap sebodoh itu, mencintaimu tanpa mengemis status dan kejelasan hubungan kita. Kembalilah padaku, jika dia tidak bisa memberikan kebahagiaan dan peluk yang cukup hangat untukmu. Aku akan tetap jadi gadis yang bodoh, yang merindukanmu dalam diam dan kesunyian. Kembalilah padaku, jika kekasihmu tidak bisa menjaga perasaanmu. Karena aku akan tetap di sini, tetap menunggumu di belakang sini, tetap menjadi Dwita yang tolol-- yang menunggu kamu pulang.


Untukmu,
yang tidak akan pernah tahu,
dan tidak akan mau tahu,
siapa yang paling tersiksa,
dalam hubungan ini.

Baca lanjutannya di:
Akhir yang aku harapkan dari kisah kita


******

Sudah punya buku Dwitasari yang judulnya apa saja? Yuk, baca informasi buku Dwitasari di sini :)