05 February 2016

Dua ratus dua puluh tujuh hari setelah perpisahan kita

#SerialTanpamu

Baca Sebelumnya: Seratus Sembilan Puluh Satu Hari Tanpamu

Kita telah masuk bulan Februari. Bulan yang aku harap penuh cinta dan kehangatan. Kamu ingat apa yang terjadi di tahun 2014? Saat hari Valentine yang kita bayangkan tidak seunik yang kita harapkan. Sepeda motor Honda CBR-ku terpaksa masuk bengkel karena usia sepeda motormuku yang semakin menua. Ditambah lagi aku kesal setengah mati karena kamu tidak meminta izin padaku terlebih dahulu saat kamu pergi ke Bandung. Kamu tahu? Di kepalaku sudah bermunculan banyak hal, kamu selingkuh, kamu bertemu pria lain, kamu bersama yang lain, dan kamu tentu melupakanmu dalam segala aktivitasku. Aku tahu dulu aku begitu egois, tapi hanya itulah yang bisa pria bodoh ini lakukan agar kamu tidak pergi menghilang dan jauh. Genggaman tanganku yang terlalu erat itulah yang menyebabkanmu jera dalam pelukanku. Aku tidak sadar bahwa terlalu mencintaimu mengubah aku jadi pria paling pemarah ketika tahu semua ponselmu terdapat nama-nama lain yang tidak aku kenali.

Aku kesal sebenarnya jika harus mengingat semua lagi. Karena aku berusaha untuk melupakanmu, melupakan kita, melupakan bagaimana caramu menatapku, dan berharap bahwa semua kenangan kita bisa segera tergantikan dengan kenangan baru yang aku ciptakan bersama kekasih baruku. Itulah harapan yang hingga saat ini belum benar-benar menjadi kenyataan. Aku mengaku kalah karena tak ada kenangan yang membanggakan seperti kenangan kita dahulu. Gadis yang kini sedang menjalani hubungan denganku tidak bisa menumbahkan perasaan di dadaku bermekar tidak karuan seperti dulu aku bersamamu. Saat ini, hanya kehampaan yang bersarang di dadaku. Aku menyesal membiarkanmu pergi dan begitu gengsi untuk memintamu kembali.

Oh, ya, aku keburu menggerutu soal rindu hingga aku lupa menanyakan kabarmu. Apa kabarmu, Gadis penulis yang blog-nya selalu aku perhatikan setiap waktu? Aku berharap kamu terus menulis tentangku hingga tulisanmu cukup menjadi energi penyemangat yang membuat aku bertahan, hingga semua kata-kata darimu cukup membuat aku kembali merasa hidup, hingga semua kalimat lugu darimu membuat aku sedikit punya harapan dan melupakan gadis di sampingku yang sampai hari ini tidak mampu memberiku kebahagiaan. 

Mungkin, saat kamu membaca ini, hanya ada umpatan kesal yang terjulur dari bibirmu, atau hanya amarah sesaat yang bermunculan dalam benakku. Tapi, masih bolehkah aku berkata jujur bahwa hari-hari yang aku lewati tanpamu adalah hari-hari penuh tanda tanya, tanda tanya yang memiliki jawaban tidak berujung. Aku selalu berharap menemukan jawaban itu bersamamu, meskipun kamu tidak akan berbalik ke arahku walau sedikit saja. Karena kamu keburu tahu bahwa aku sempat berselingkuh dengan yang lain, akibat dari kebodohanku-- merasa tidak cukup layak untuk berdampingan dengan berlian sepertimu. Aku mengaku kalah. Aku mengaku masih begitu jatuh cinta padamu seperti pertama kali kita bertemu. Seperti pertama kali kulihat wajahmu dalam sebuah percakapan maya kala itu.

Malam ini, ditemani sebungkus rokok dan sebuah asbak, aku menulis hal-hal aneh yang bahkan tidak pernah berhasil aku pahami. Sudah ratusan hari aku lewati tanpamu, tapi setiap harinya bayanganmu justru semakin ada serta hidup. Kekasih baruku bahkan tidak mampu melawan itu semua, kamu begitu sulit untuk ditaklukan pesonanya oleh perempuan lain. Tidak ada satupun yang mampu menjadi sepertimu. Sementara di sini, aku hanya bisa duduk diam, menatapmu dari kejauhan, mengitarimu dengan pelukan bayangan, dan berharap suatu hari nanti Tuhan kembali menciptakan sebuah pertemuan-- dan kita punya peluang untuk saling memaafkan.

Aku senang, meskipun aku sedikit gede rasa karena mengira kamu masih begitu jatuh cinta padaku. Tapi, makin hari, kamu makin jarang menulis tentangku. Apalagi, kamu begitu cepat menyelesaikan semua bukumu hingga buku kesepuluh tanpa kendala patah hati apapun. Kamu sekarang sudah semester delapan dan sedang mengurus skripsimu. Kamu tetap sukses besar tanpa memikirkan luka yang dulu pernah ada di masa lalu kita. Sedangkan aku masih diam di sini, dengan sebatang rokok yang kian memendek, bersama udara malam Depok yang kian dingin, diiringi suara kodok yang terus berbunyi. Aku masih menunggumu kembali, diam di tempat, tidak berjalan ke mana-mana, walaupun aku tahu semakin hari kamu justru semakin menjauhiku bukan mendekatiku.

Aku tidak tahu rasanya menangis itu seperti apa. Karena ayahku di Bengkulu selalu bilang bahwa menjadi pria berarti menjadi tidak punya hati. Aku tidak tahu kenapa aku dipaksa untuk tidak memiliki hati, karena aku terlanjur memberi seluruh hatiku padamu, meskipun pada akhirnya aku menyesal telah melepaskan kamu pergi. Aku tidak tahu kenapa seharian ini aku mengabaikan panggilan telepon dari kekasihku. Aku tidak tahu mengapa seharian ini aku tidak bersemangat melakukan apapun. Aku tidak tahu mengapa malam ini aku masih mendengarkan lagu Taylor Swift, berharap aku punya pintu ke mana saja milik Doraemon, dan bisa mengembalikanmu ke dalam pelukanku.

Aku tidak tahu mengapa pelupuk mataku begitu penuh, mengapa malam ini pipiku menghangat, tenggorokanku sesenggukan, hingga aku terpaksa harus menggigit filter rokokku agar aku masih cukup kuat untuk mengisap batang-batang rokok berikutnya. Aku tidak tahu mengapa keyboard laptopku basah. Kemudian telapak tanganku menutupi mulutku, agar tangis sialan ini mereda.

Masa, iya, sih, merindukanmu harus sesakit ini?

Dari pria Bengkulu,
yang masih mengharapkanmu.