13 January 2016

Buku Memeluk Masa Lalu :)


TANGGAL TERBIT
14 Februari 2016

Harga 
Rp34.000

TEMUKAN BUKU INI DI TOKO BUKU
Gramedia, Togamas, Gunung Agung, dan TM Bookstore

Sinopsis:

Apa jadinya jika Cleo kembali bertemu dengan Raditya? Cowok yang tiga tahun lalu Cleo temui dalam sebuah perjalanan bus Cibinong - Jogjakarta. Pria berkacamata dan berwajah oriental itu benar-benar mencuri perhatian Cleo hingga dia tidak bisa membohongi dirinya sendiri bahwa dia jatuh cinta. Tapi, kini semua telah berbeda, karena Raditya tidak lagi sendiri. Masih bolehkah Cleo jatuh hati?

Teaser Buku:

Jika ada seseorang yang memenuhi seluruh masa mudamu, apakah kamu yakin dia akan jadi sosok yang menemanimu dalam masa kini dan masa tuamu?
Memeluk Masa Lalu – Dwitasari

Cleo

Aku tidak percaya. Semakin aku menatap matanya, semakin aku tidak percaya dengan apa yang kulihat. Aku sulit menerima kenyataan bahwa hari ini kami sungguh kencan. Dia adalah pria yang menghilang selama tiga tahun dari hidupku, kini cowok itu berdiri hanya beberapa sentimeter dari lenganku.

Dia bukan lagi pria berumur dua puluh dua tahun yang dulu aku lihat. Dan, aku bukan lagi gadis berusia tujuh belas tahun yang beberapa tahun lalu dia lihat. Dia, di mataku, malam ini, adalah cowok berusia dua puluh lima tahun, berdiri tegap, mapan, bermata sipit, berwajah oriental, serta memesona. Senyum di bibirnya tidak sekonyol dulu. Kini, barisan giginya yang rapi seringkali disembunyikan seakan dia sedang mengalahkan emosi yang bergejolak dalam dirinya. Dia hanya sesekali menatapku, kemudian tersenyum. Tidak ada tawa bahagia yang dia tunjukan seperti tiga tahun lalu.

Aku bisa menebak, tidak ada kebahagiaan apapun yang bergejolak dalam dirinya. Kencan kami kali ini tentu hanyalah permintaan maaf. Setelah kencan ini, tentu dia akan pergi seenaknya, semudah ketika dia melambaikan tangan tanpa mengucapkan kalimat perpisahan—seperti tiga tahun lalu. Aku masih berusaha menebak, otakku terus berharap agar Tuhan memberiku kemampuan untuk mengetahui isi otaknya juga. Tapi, hatiku sungguh menolak. Hatiku hanya ingin mempercayai apa yang ingin hatiku percaya. Hatiku hanya ingin percaya bahwa pria itu mencintaiku, meskipun otakku berkata sungguh ini ide yang sangat gila.

Terlalu banyak hal yang berubah, dalam dirinya, juga dalam diriku. Namun, mengapa yang satu ini tidak bisa diubah? Mengapa perasaanku padanya masih sama? Sialnya lagi, aku masih jatuh cinta, cintaku masih begitu kuat seperti pertama kali kami bertemu; pada sebuah perjalanan delapan belas jam menggunakan bus eksekutif menuju Jogjakarta.

Aku menatap matanya sekali lagi. Mencoba mengelak. Mencoba menyadarkan diriku dan berharap ini hanya potongan adegan film yang aku tonton secara maraton. Malam ini, tentu aku sedang bermimpi. Namun, dia memelukku, dan bisa aku rasakan detak jantungnya. Bisa aku simpulkan dengan jelas bagaimana helaan napasnya.

Demi Tuhan. Ini kenyataan.

***


Raditya


Dia tidak suka rokok. Makanya, saat aku menjemput perempuan itu—aku tidak menyentuh rokokku sama sekali. Jadi, dengan debaran jantung yang iramanya berantakan, aku menunggu gadis yang pernah terpisah selama tiga tahun denganku di depan rumahnya. Aku hanya bermodal parfum yang sering aku gunakan dan rambut yang aku rapikan lebih rapi dari biasanya. Mobilku juga aku bersihkan sebersih mungkin. Tidak ada jersey futsal, tidak ada sepatu futsal, tidak berserakan handuk keringat habis futsal. Intinya, aku rasa, semua sempurna.

Aku sangat rapi. Mungkin, itu yang membuatnya terus menatapku dengan wajah keheranan. Aku tidak mengerti mengapa dia terus menatapku sedalam itu. Dia masih terus menatapku bahkan hingga kami sampai di gedung bioskop. Tatapan itu terus berlanjut hingga kami masuk ke dalam teater bioskop. Dia terus menatapku hingga film diputar.

Apa mungkin dia sedang mengintrogasi senyumku yang setengah-setengah ini? Andai aku bisa jujur bahwa malam ini sungguh aku gerogi setengah mati. Ada banyak kata-kata yang bersarang di kepalaku. Tapi, mulutku tidak bisa diajak kerja sama. Padahal, aku hanya ingin mengucapkan satu kalimat saja. Hari ini aku sungguh bahagia.

Aku tidak mengerti mengapa hari ini dia begitu cantik. Secantik ketika aku pertama kali bertemu dengannya dalam sebuah perjalanan aneh yang aku namakan—keajaiban. Dia adalah keajaibanku. Aku tidak peduli jika dia menganggap kencan ini adalah kutukan. Tapi, bagiku, ini adalah sebuah keajaiban. Seandainya Tuhan mengizinkan, aku hanya ingin pertemuan kami tidak sebatas kencan. Mengapa? Aku tidak ingin kehilangan dia untuk yang kedua kalinya.

Entah bagimana perasaan dia. Aku juga tidak berani bertanya, karena aku yakin jawaban perempuan hanya akan membuatku semakin bertanya-tanya. Jadi, yang bisa aku temukan dari dalam dirinya, dia tetap gadis yang sama seperti tiga tahun lalu. Manis, menggemaskan, serta memesona. Ah, aku jatuh cinta. 

Aku tidak mengerti mengapa aku sangat ingin membawa dia ke dalam pelukanku. Aku tidak mengerti mengapa setiap detik yang kami lewati malam ini terasa begitu menyenangkan. Aku tidak mengerti mengapa aku melakukan ini semua. Padahal, aku sungguh tahu, mencintai gadis itu adalah hal yang sangat dibenci siapapun. Dibenci ibuku. Dibenci Tuhan.

Demi Tuhan. Ini menyakitkan.

01 January 2016

Seratus sembilan puluh satu hari tanpamu

#SerialTanpamu

Baca Sebelumnya: Seratus enam puluh delapan hari setelah perpisahan kita

Selamat tahun baru untukmu. Dan, aku telah jarang menulis tentangmu karena aku sedang menyelesaikan buku kesepuluhku yang berjudul Memeluk Masa Lalu. Satu-satunya sarana untuk membuatku lupa padamu.

Dua ribu lima belas milikku yang dulu sepenuhnya hanya dirimu, kini sudah tertinggal jauh di belakang. Dua ribu belas milikmu tentu tidak sesedih aku. Kudengar dari sahabatmu, kamu dan kekasih barumu semakin dekat. Eh, kekasih baru, maksudku selingkuhanmu yang menyebabkan hubungan kita berakhir. Aku tidak perlu memastikan kebenaran kabar itu karena dengan sendirinya aku tahu; kamu memang sudah bahagia tanpaku.

Tentu kamu tidak membayangkan, betapa sisa-sisa dua ribu lima belas yang aku lewati tanpa kehadiranmu adalah hari-hari menyedihkan yang perihnya aku tahan sendiri. Tidak ada orang yang mengerti betapa kehilanganmu adalah ketakutan terbesarku. Dan, kepergianmu yang tiba-tiba bahkan masih menimbulkan tanya di dadaku. Diam-diam, aku berkata dalam hati, "Apakah memang aku tidak sepenting itu bagimu?"

Aku berusaha meyakinkan diriku untuk membencimu di sisa-sisa dua ribu belas milikku yang aku lewati setelah perpisahan kita. Aku berusaha mencari semua kesalahanmu untuk menghipnotis diriku sendiri bahwa kamu adalah pria super jahat yang senang mendepak perempuan yang tidak bersalah dalam banyak hal. Aku berusaha menyadari bahwa kamu akan mendapatkan karma yang setimpal seperti yang telah kamu lakukan padaku. Namun, saat malam menjelang, dan wajahmu ada dalam ingatanku saat itu-- nyatanya bagiku kamu tidak sejahat itu. 

Bagaimana mungkin aku bisa mengatakan jahat pada pria yang dengan sepeda motor Honda CBR-nya itu tetap mau mengantarku hingga depan rumah. Aku begitu tahu, betapa kakimu pegal karenaku. Betapa rumahku yang jauh tentu sangat menyiksamu. Betapa hari-hari yang kaulewati bersamaku adalah bencana besar bagimu. Tapi, di depanku, kamu tetap tersenyum dan dengan senang hati langsung menyerahkan satu helm lain yang kamu bawa khusus untukku. Hanya sesederhana mengantar sampai depan rumah, menunggu di depan kampus meskipun kehujanan, tapi namamu sampai sekarang membekas dalam ingatan. Kamu yang harusnya sejak dulu kulupakan malah jadi sosok yang paling sulit untuk aku hilangkan.

Ah, iya, selamat ulang tahun juga untukmu, dan untuk kesopananmu yang tidak membalas pesan singkatku. Oh, aku sungguh tahu betapa hidupmu sungguh bahagia bersama kekasihmu. Betapa ulang tahunmu sangat megah bersama kekasih barumu. Betapa hidupmu lebih sempurna sekarang. Dan, kenyataan yang harus aku terima adalah aku tidak akan pernah melewati ulang tahunmu atau ulang tahunku atau ulang tahun kita secara bersama. Padahal, semua mimpi itu adalah mimpi kecil yang kita bangun berdua, namun kamu menghancurkannya tanpa rasa bersalah. Selamat untuk kebahagiaanmu dan selamat merayakan kesedihanku karenamu. Oh, iya, saat delapan Desember kemarin, kamu juga tidak mengucapkan apapun. Tentu kamu sudah lupa, ketika aku berusaha keras mengingatkanmu bahwa ulang tahunku sama seperti tanggal saat Jepang menyerang Pangkalan Laut Amerika Serikat, tetapi tahun 1941 diganti menjadi tahun 1994. Dan, kamu lupa. Tidak apa. Dwitasari-mu sudah terbiasa dengan hal-hal perih yang disebabkan olehmu.

Tahukah kamu, Yo, di sisa-sisa dua ribu lima belas yang aku lewati tanpamu, adalah masa-masa sulit bagiku untuk menerima bahwa kita tidak lagi bersama. Bahwa tak akan ada lagi pesan singkatmu. Bahwa tidak akan ada lagi suaramu. Tidak ada pelukmu. Tidak ada tawamu. Tidak ada hari-hari bersamamu. Aku berjalan sendirian serta tertatih kesepian, berusaha meraba-raba hari demi hari. Berjalan dari satu ketakutan ke dalam ketakutan lain. Mengingat betapa masa-masa tanpamu adalah hal sulit yang belum bisa aku lewati. Bahkan hingga detik ini. Aku masih jadi perempuan yang ingin kamu cepat pulang.

Kamu tidak tahu hari-hari yang aku lewati dengan menatap ponsel setiap menit, berharap ada pesanmu. Kamu tidak pernah tahu, setiap ada pemberitahuan masuk, aku berharap itu kamu. Kamu tidak tahu, setiap ada panggilan berdering, aku berharap kamulah yang ada di ujung telepon. Kamu tidak tahu, aku tidak membalas semua pesan pria yang lebih baik darimu hanya karena aku ketakutan menjalani hubungan yang nantinya akan berakhir seperti hubungan kita. Kamu tidak tahu, berapa pria yang berusaha masuk ke dalam hatiku, tapi sekuat hati aku menutup diri karena dalam bayanganku masih kamulah yang cocok bertempat di sini-- di hatiku yang hanya pantas kauhuni. Kamu tidak tahu sudah berapa air mata yang kujatuhkan dalam doaku, memohon Tuhan menghapus segala ingatanku tentangmu, meminta aku terkena Alzheimer, atau amnesia, asal aku lupa waktu-waktu indah bersamamu dan yang aku ingat hanyalah kebahagiaan-kebahagiaan bersama sahabat dan keluargaku. Kamu tidak tahu betapa sampai sekarang aku masih takut jatuh cinta jika cinta berarti harus jatuh dan kehilangan lagi untuk yang kedua kali.

Kamu tidak tahu betapa aku masih mengitung hari. Sehari, tujuh hari, dua puluh hari, lima puluh hari, seratus hari, seratus sembilan puluh satu hari, untuk menunggumu pulang. Aku tahu kamu tidak akan pulang. Kamu pasti tidak akan menapaki lagi jalan pulang menuju aku. Karena jalan pulangmu tidak lagi mengarah kepadaku. Sejak wanita itu hadir di antara kita berdua, entah mengapa aku tidak bisa menyalahkan wanita itu, aku malah menyiksa dan menyalahkan diriku sendiri. Apa salahku hingga kamu meninggalkanku kemudian memilih dia?

Apa karena keegoisanmu yang ingin ditemani Shalat lima waktu, sehingga kamu bisa jadi imam untuk seorang gadis? Apa karena keegoisanku yang ingin ditemani ibadah hari Minggu, sehingga ada seorang pria yang duduk di sampingku saat aku sedang memuji Tuhan di gereja? Atau ini semua karena keegoisan kita berdua, yang tidak mengakhiri semua di awal saja, yang memilih mengakhiri justru di saat semua terlalu indah untuk diakhiri. Kamu, dan akupun, bahkan tidak tahu. 

Yang aku tahu, sekarang Taylor Swift sedang membisikan lagu Wildest Dream di ruang kamarku. Taylor Swift sedang berteriak mengucapkan "Just Pretend!" dalam lagunya. Ah, mungkin memang, cintamu yang begitu terlihat indah di mataku sebenarnya hanyalah kepura-puraan yang terlambat aku sadari.

Tapi, biarlah aku tetap bodoh, asal bisa bersamamu.

Dari perempuan,
yang tetap membawa namamu;