26 September 2015

Kamulah Orangnya


Pertama kali menjabat tanganmu di SCBD, aku tahu; "kamulah orangnya". Aku nggak tahu. Aku percaya aja kalau kamu orangnya. Aku juga sempat kasih buku Raksasa Dari Jogja meskipun buku itu langsung kamu kasih ke ajudan kamu yang rambutnya sangat pendek dan rapi itu. Waktu itu kamu masih jadi gubernur Jakarta, pakai kemeja putih, pakai sneakers, dan cerita santai soal bisnis kamu. Saat itu sekaligus perkenalan buku Pak Chairul Tanjung.

Aku nggak tahu, aku sepercaya itu sama kamu. Bisa percaya sama kamu. Waktu aku ikut gerakan ‪#‎AkhirnyaMilihJokowi‬, aku tetap percaya; "kamulah orangnya". Tahu nggak, sih, bahkan aku sudah lebih dulu percaya bahwa "kamulah orangnya" waktu kita ketemu pertama kali itu?

Aku nggak tahu, kenapa aku masih tetap percaya kamu, waktu dollar naik dan semua orang mengujat kamu, tapi aku nggak bisa ikutan ngehujat. Aku nggak tahu, kenapa setiap Mamaku bilang listrik mahal dan marah-marah, aku cuma minta nomor pelanggan PLN, buka laptop, ambil token Banking BCA, dan bayar listrik sebelum tanggal 10. Aku nggak tahu, kenapa aku nggak bisa ikutan marah-marah seperti Mamaku.

Aku nggak tahu, kenapa setiap Mamaku bilang daging mahal, besoknya aku antar Mama ke Superindo daerah Cibinong, gesek debet Mandiri, dan Mamaku diam. Aku nggak tahu kenapa aku nggak bisa ikut-ikutan marah-marah kayak mereka yang bilang apa-apa mahal karena salah kamu.

Aku nggak tahu, Mas, saat semua orang bilang bayar pajak, tuh, begini begitu. Dan ini semua salah kamu, Mas, tapi kenapa aku nggak ngeluh saat antre di KPP Pratama Cibinong buat laporan pajak dari royalti buku dan bisnisku. Aku nggak tahu Mas kenapa aku nggak bisa ikut-ikutan marah-marahin kamu soal pajak. Dan, masa, sih, aku perlu cerita bahwa uangku dikembalikan bagian pajak sebanyak tujuh juta karena aku LB (Lebih Bayar) pajak. Ditransfer ke rekening dan prosesnya cuma sebulan setelah audit.

Aku nggak tahu, kenapa semua orang nyalahin kamu saat ada konflik agama. Sedangkan Papaku, yang setahun lalu aku antar ke Masjid Pemda Cibinong sebagai tempat titik kumpul untuk keberangkatan jemaah haji, santai-santai saja saat kakakku ingin menikah secara Kristen. Aku nggak tahu, semua orang menyalahkanmu soal konflik agama. Sedangkan setahun yang lalu, aku dan kakakku ikut menyiapkan baju doraemon berkantung warna putih sebagai baju santai Papa selama ibadah haji, kami bahkan mengambil bonus jubah putih yang dikasih Mandiri Tabungan Haji di Mandiri KCP Cibinong. Aku nggak tahu, kenapa semua orang menyalahkanmu soal agama, sedangkan aku dan keluargaku sesantai itu hidup dan mengenal dua agama.

Aku nggak tahu, Mas, nggak pernah tahu. Pasti karena tulisan ini bakalan ada orang yang bilang aku sombong, ditambah lagi hujatan "Kamu masih kecil. Nggak ngerti politik." Aku jadi pengin tahu rasanya jadi orang dewasa yang bisa sebebas mungkin menghujat kamu tapi nggak pernah tahu apa yang sebenarnya harus diperbaiki dalam dirinya sendiri.

Aku nggak tahu, wahai Mas Joko, kenapa aku masih begitu tenang nulis novel dan jalanin bisnisku, tapi mereka bisa sekocar-kocir itu, nyalah-nyalahin kamu, dan bilang kamu penyebab dari semua masalah di Indonesia. Aku jelas nggak tahu apa-apa, Mas Joko, aku hanya anak kecil ingusan yang nggak mau ikutan-ikutan jadi dewasa kalau arti dewasa sesungguhnya berarti menghujat dan menyalahkan kamu.

Aku nggak tahu kenapa aku nggak bisa kayak mereka. Sungguh, aku nggak tahu kenapa aku bisa jadi beda jauh sama mereka. Aku nggak tahu, Mas, kenapa bisa sepercaya ini sama kamu. Aku masih yakin "kamulah orangnya", yang dipilih Tuhan untuk mengubah segalanya.

Aku nggak mau, Mas, kalau harus jadi dewasa. Aku mau selamanya berumur 20 tahun agar aku selalu jatuh cinta padamu, berkali-kali, dan lupa kalau hubungan aku dan kamu hanya sebatas rakyat dan presiden.

Aku selalu percaya SEMUA INDAH PADA WAKTUNYA, Mas. Aku percaya kamu akan membuktikan semua, di waktu yang terbaik, di waktu yang Tuhan inginkan. Aku selalu percaya, Mas Jokowi, "kamulah orangnya".

- Dwitasari, 20 tahun, Mahasiswi

24 September 2015

Kamu Tidak Akan Pernah Tahu

Malam ini, hampir semua orang Jakarta mengumpat kesal karena kecelakaan kereta di Stasiun Juanda. Kereta yang terguling hingga keluar rel itu menyebabkan kemacetan di mana-mana, menghasilkan umpatan di penjuru stasiun, dan aku ada dalam salah satu orang yang merasakan betapa Jakarta-ku tidak semenyenangkan Jogja-mu. Aku memilih untuk menaiki salah satu ojeg berbasis online untuk menuju Depok dari Stasiun Tebet menuju meeting ketiga hari ini. Mungkin, kamu tidak akan pernah tahu, di tengah semerawutnya duniaku-- aku masih punya waktu untuk merindukanmu.

Dengan sisa kekuatan yang aku punya, aku sampai di Margocity untuk melanjutkan meeting buku selanjutnya. Buku Mengais Masa Lalu segera terbit dan ada beberapa hal yang perlu dibicarakan dengan penerbitku. Pening akibat flu masih terasa begitu menusuk, aku pulang dengan menaiki taksi, dan tak lagi punya kuasa untuk menggerakan tubuhku. Di sepanjang jalan, aku mendengar suara gema takbir, yang mengingatkanku pada riuhnya suara takbir di Jogjakarta. Aku ingin pulang dan lelah dengan semuanya. Meskipun aku selalu jatuh cinta pada pekerjaanku, tapi aku pun ingin tahu rasanya jatuh cinta dan tergila-gila pada seseorang sepertimu. 

Sekarang, aku terbaring lemah di ranjangku, dan hanya bisa membaca ulang percakapan kita beberapa hari yang lalu. Mungkin, kamu tidak akan pernah tahu, di tengah kelelahanku sebenarnya aku masih membutuhkanmu. Kalau boleh jujur, aku sangat ingin ditenangkan oleh percakapan kita seperti beberapa hari yang lalu. Saat kamu menanyakan apa saja yang sudah aku makan, saat kamu menasehatiku banyak hal, saat kamu membuatku semakin merindukan Jogjakarta, saat kamu bercerita tentang pekerjaanmu hari ini, saat kamu selalu berhasil membuatku tertawa, dan saat kita masih dalam keadaan baik-baik saja.

Aku tidak berkata bahwa saat ini kita tidak baik-baik saja, tapi bisakah kau menjawab apa yang terjadi di antara dua orang; yang sekarang tidak lagi saling menyapa ketika beberapa hari yang lalu mereka masih bisa tertawa dan bercanda? Aku merindukanmu, merindukan percakapan kita hingga larut malam. Aku rindu diriku yang rela menunggumu hingga kamu selesai mengedit video dan pekerjaanmu. Aku rindu melihat ponselku hanya untuk membaca semua pesanmu. Aku rindu kebahagiaan kecil yang kau berikan padaku, kebahagiaan-kebahagiaan yang bahkan sulit untuk dijelaskan dan diartikan. Aku jelas jatuh cinta, sayangnya (mungkin) kamu tidak merasakan perasaan yang sama. 

Beberapa hari ini, aku menepis dan melawan keinginanku sendiri untuk tidak lagi mencari tahu tentangmu. Karena bagaimanapun aku menangis, mengeluh, bercerita di dunia maya, atau apapun itu-- tidak akan membuatmu paham dan mengerti. Ada gadis yang diam-diam mencintaimu dan kamu ikut diam seribu bahasa seakan kamu tidak bisa membaca semua tanda. Maka, aku salah dalam segala, karena tidak berani mengungkapkan perasaanku, dan semua orang tentu menyalahkanku, menyalahkan keadaan, dan menyalahkan ketololanku karena rasanya terlalu cepat jika aku jatuh cinta padamu. Lalu, apa salahnya jatuh cinta pada orang yang baru kita kenali? Apakah aku berdosa karena mencintaimu meskipun perkenalan kita hanya sebatas chat?

Kamu tidak akan pernah tahu ini semua dan tidak akan pernah tahu betapa aku lemas melihat salah satu foto Instagram-mu dengan seorang perempuan. Uh, iya, aku tahu, Dwita-mu ini terlalu sering pakai perasaan. Aku paham bahwa aku bukan tipemu, astaga perempuan sepertiku yang gampang nangis ini tidak akan pernah cocok bersanding dengan pria sekuat kamu. Tidak akan pernah dan aku sangat sadar soal itu. Apalagi berhak cemburu? Aku tahu, aku tidak punya hak, tidak punya wewenang untuk mengaturmu berfoto dengan siapapun. Yang aku tahu, aku mencintaimu, dan biarlah ini menjadi rahasiaku, dan biarlah ini menjadi perasaan yang selamanya (mungkin) tidak akan pernah kautahu. 

Jadi, biarkan Dwita-mu tetap jadi perempuan yang selalu diam. Karena dari semua diam itulah yang membuat dia bisa menghasilkan banyak tulisan. Jadi, aku akan terus diam, menatapmu dari jauh, mendoakanmu dari sini. Aku akan sukses dengan ceritaku. Kamu akan sukses dengan duniamu. Dan, dunia kita tidak akan pernah bertemu di satu titik meskipun sama-sama berjalan beriringan. Aku tahu, doa kita tidak akan pernah sama, aku mendoakanmu, kamu mendoakan entah. Tapi, percayalah, dari ribuan gadis yang memujamu, akan selalu ada aku yang berharap Tuhan selalu memelukmu dengan erat, seerat rinduku yang tidak pernah habis untukmu.

Aku ingin tertidur sambil mendengarkan lagu band-mu yang teriak-teriak itu. Berharap bisa teriak bersamamu, di Jogjakarta, di pantai manapun, asal sambil menggenggam jemarimu.


Dari Dwita-mu,
yang akan selalu diam-diam;
mencintaimu.

20 September 2015

Apakah Kamu Tahu?

Sebelum menulis ini, aku berusaha menghela napas beberapa kali. Aku baru selesai mengerjakan deadline novel yang akan terbit Oktober akhir di Bukune berjudul Sama Dengan Cinta. Tidak lelah, tapi aku sedikit gamang. Tidak mudah menyelesaikan tulisan dengan perasaan berantakan seperti saat ini. Helaan napasku sebenarnya sederhana, hanya untuk menguatkan diri agar luka ditinggalkanmu tidak terasa begitu sakit lagi. Namun, nyatanya, semakin aku berusaha melupakanmu, semakin aku tidak bisa menerima perubahan yang terjadi di antara kita.

Malam itu, insiden salah pencet ternyata membuat kita begitu dekat. Kamu yang ternyata salah memencet huruf di Line-mu malah berbuntut pada percakapan kita hingga larut malam. Meskipun hanya melalui deretan huruf dan angka, entah mengapa kamu berhasil membuatku percaya bahwa cinta yang tulus itu masih ada. Kamu membuat aku sedikit demi sedikit meredam keegoisanku, biasanya aku selalu menuntut seseorang yang aku cintai untuk membalas pesanku hanya dalam hitungan detik. Tapi, denganmu, rasanya aku mulai bisa menerima kesibukan seseorang yang aku cintai. 

Sehari setelah insiden yang berakhir menyenangkan itu. Aku mencari tahu tentangmu dari semua sosial mediamu. Kita mungkin telah lama saling tahu, tapi tak ada yang berani memulai lebih dulu. Aku mengintip Instagram-mu. Dan, kulihat seorang pria yang atraktif serta energik, pria yang berhasil meraup perhatianku tanpa sisa. Setiap polah tingkahmu, membuatku mulai mengagumi semua karyamu. Aku jatuh cinta pada suara mendhok-mu. Aku jatuh cinta pada semangatmu saat berbicara tentang JKT48. Aku jatuh cinta pada setiap gerak-gerik yang kamu tunjukan. Aku jatuh cinta pada rambut tipismu yang gondrong. Aku jatuh cinta pada mata merahmu yang selalu terlalu lelah. Aku jatuh cinta pada caramu bercerita tentang buku The Secret. Aku jatuh cinta, sayangnya kautidak.

Kamu berhasil memenjarakanku pada bayang-bayang yang aku buat sendiri. Ini bukan salahmu, jelas bukan salahmu, ini tentu salahku. Aku tidak bisa mengendalikan diri untuk tidak mencintaimu. Kamu terlalu gemerlap buatku yang gelap. Sinaranmu terlalu terang untuk aku yang selalu gamang. Aku tidak bisa memaksa diriku sendiri untuk tidak mencari tahu tentangmu dan semakin aku tahu tentangmu-- semakin aku tidak ingin komunikasi kita terhenti secepat ini.

Hampir setiap hari, kerjaanku mengintip Instagram-mu di sela-sela kesibukanku. Memang, hal ini hanya dilakukan oleh pengecut sepertiku, atau hanya dilakukan oleh gadis-gadis yang mencintai suara dan karyamu. Aku juga sadar diri, dibandingkan mereka yang jauh lebih sempurna, aku layaknya asap rokok yang terlihat hitungan detik, lalu segera hilang diburu angin. Aku pun sadar, rasanya tidak pantas jika gadis sepertiku berharap lebih dekat denganmu. Ya, walaupun aku tahu memang tak mungkin, tapi setidaknya aku ingin memperpanjang waktu berkenalan denganmu, meskipun mungkin semua akan berakhir sama yaitu-- menyakitkan.

Aku tidak berharap lebih, harapanku sebenarnya hanya ingin waktu berkenalan denganmu bisa lebih panjang. Karena kamu berhasil membuatku nyaman dan jika sehari tidak mendengar kabarmu, rasanya seperti aku sedang menjalani hari tanpa melibatkan jiwaku di dalamnya. Aku masih berharap bisa membaca setiap pesanmu, meskipun hanya sebatas tulisan. Aku masih berharap bisa membicarakan banyak hal tentang Jogjakarta dan membicarakan hari-harimu yang menurutku terkesan begitu menyenangkan. 

Maafkan jika ini terasa berlebihan. Aku tidak peduli jika kamu menganggapku berdrama. Aku juga tidak peduli jika kamu menganggapku terlalu berlebihan. Aku tidak peduli jika kamu memilih menjauh setelah tahu bahwa aku cuma gadis bodoh yang selalu melibatkan perasaan dalam setiap peristiwa yang aku alami. Aku tidak peduli jika hilangnya percakapan kita sebagai akibat bahwa kamu hanya ingin kita berteman biasa. Mungkin, aku terlihat makin menyebalkan dengan sikapku yang berlebihan. Tapi, percayalah, sekarang aku dalam keadaan mulai mencintaimu, dan menerima kenyataan bahwa kita tak lagi sedekat dulu; cukup membuatku sekarat karena memikirkanmu. Dengarlah, bersamamu pun sudah cukup membuatku merasa ada, maka mengapa aku harus menuntutmu menjadi milikku seutuhnya?

Apakah kamu tahu betapa buramnya hari-hariku tanpamu? Apakah kamu paham betapa aku lelah membalas setiap chat dari pria-pria yang sebenarnya tidak menarik bagiku, tapi itu semua aku lakukan karena aku ingin melupakanmu? Apakah kamu sadar, bahwa setiap aku membalas chat dari pria-pria itu, aku selalu berharap bisa menemukan pria yang sangat mirip denganmu. Aku berharap bisa menemukan dirimu dalam diri pria-pria yang berjuang keras mendekatiku. Sadarkah kamu, bahwa sebenarnya selama ini aku hanya menginginkanmu dalam hari-hariku?

Apakah kamu tahu, aku masih berharap bahwa suatu saat kita bisa bertemu? Aku masih berharap bisa melewati jalan Solo bersamamu, melihat sekolah De Britto tempat kamu pernah mengenyam pendidikan, melewati kampusmu yang sudah terlihat dari jembatan layang, menikmati kembang api di Alun-alun Utara Jogjakarta, membicarakan apapun sambil menatap matamu, dan kita menghabiskan malam di Jogjakarta hingga tidak ada ruang di hatiku yang tersisa-- seutuhnya penuh untukmu.

Apakah kamu tahu, aku sudah memilihmu sejak pertama kali kamu salah memencet huruf di-chat kita? Apakah kamu tahu, aku telah menjadikanmu satu-satunya ketika mungkin kamu hanya menjadikanku salah satunya? Apakah kamu tahu, aku masih menunggumu, menunggu pertemuan kita di Jogjakarta, menunggu segalanya yang mungkin tidak akan jadi nyata? Apakah kamu tahu, aku berharap Tuhan memutar ulang waktu, sehingga aku masih punya kesempatan untuk memperbaiki semua. 

Beri aku kesempatan untuk menyanyikan cinta di telingamu. Beri aku kesempatan untuk menunjukan bahwa ketulusan itu masih ada. Beri aku kesempatan untuk memelukmu di bawah langit Jogja dan sekali lagi meyakinkanmu-- bahwa aku adalah penggemarmu nomor satu.


dari Dwita-mu
yang  diam-diam;
mendoakanmu.

01 September 2015

Sembilan puluh delapan hari tanpamu

#SerialTanpamu


Langit Depok siang tadi cukup terik. Aku terseok memasuki kelas dan menghadapi mata kuliah pukul dua siang. Mataku masih agak sembab dan perih, salahku yang sibuk menangisi seseorang. Saat dia menutup telepon dan menyuruh aku hanya menganggap dia teman biasa, rasanya duniaku berhenti sampai di situ. Aku menangis sejadi-jadinya sambil membekap wajahku di balik bantal. Aku patah hati lagi, padahal baru dua bulan ini aku merasa merdeka karena bisa melupakanmu. 

Kamu apa kabar? Sudah berapa bulan aku dan kamu tidak bertemu? Mungkin, terlalu panjang jika menyebut aku dan kamu, karena akupun terlalu takut untuk menyebut "kita", "kita" yang mungkin di matamu tak lagi ada. Aku ingin tahu siapa kekasihmu saat ini, bisa aku bayangkan betapa suksesnya hubungan kalian, sementara aku harus terjatuh untuk yang kedua kalinya. Kejadian semalam membuat aku kembali memaki diriku lagi dan aku sudah membayangkan hari-hari ini akan berlalu jadi makin panjang. Sewaktu ingin melupakanmu, Yo, kamu tentu tahu bahwa aku jungkir balik hanya untuk menerima kenyataan bahwa kita tidak lagi sejalan. Rasanya memang tolol, Yo, tapi pada akhirnya aku menemukan seseorang yang lebih baik darimu, yang aku pikir bisa menjadi semestaku, yang aku pikir bisa mengerti duniaku seperti kamu mengerti isi kepalaku.

Kalau aku bercerita tentang pria ini boleh tidak, Yo? Aku tidak peduli kamu akan membaca ini atau tidak. Aku tidak peduli kamu akan melihat tulisan ini atau tidak. Kali ini, aku hanya ingin kamu mendengarkan, duduk diam saja tak perlu memberi solusi apapun. Saat ini, aku sedang membayangkan hal yang tidak akan terjadi. Aku sekarang sedang bersandar di bahumu, menangis sejadi-jadinya, terisak sekuatnya, dan kamu tentu hanya diam seperti orang bodoh-- seperti biasanya.

Aku mengenal pria ini beberapa bulan setelah hubungan kita berakhir. Kalau kamu mau tahu, hari-hari yang aku lewati tanpamu adalah neraka baru yang menyebalkan buatku. Setiap hari, aku harus meyakinkan diriku, bahwa tidak akan ada lagi sepeda motor Honda CBR yang mengantarkanku pulang hingga depan rumah. Setiap saat, aku memaksa diriku agar memahami keadaan, bahwa kamu tidak akan pernah tiba-tiba datang ke rumah hanya untuk berkata betapa kamu mencintaiku dan menganggap aku adalah bagian dari duniamu. Setiap menit, aku berusaha untuk menerima semua, bahwa asap rokokmu, yang aromanya sangat aku benci itu, tidak akan pernah melingkupi indra penciumanku. Bulan-bulan aku lalui dengan usaha-usaha kecil untuk memaafkan diriku sendiri, untuk berhenti menyesali keadaan, dan untuk percaya bahwa semua akan baik-baik saja.

Dan, aku bertemu dengan pria ini. Si hitam manis yang membuat aku merasa sebahagia ketika bersamamu, bahkan lebih bahagia. Aku jatuh cinta dengannya, bahkan saat pertama kali aku berdebat mengenai universitas kami, mengenai IPK cumlaude-ku, tak lupa masalah-masalah di Indonesia. Aku mencintai pria itu, lebih besar daripada dulu aku mencintaimu, dia benar-benar membuat aku merasa bahwa kebebasan dan kebahagiaan setelah move on itu sungguhlah ada. Sejuta persen, aku melupakanmu, dan aku memuja dia dari ujung kaki hingga ujung kepala. 

Sayangnya, ya, sayangnya, gadis yang pernah menjadi mantan kekasihmu ini tidak punya daya dan upaya untuk membuat seorang pria tetap tinggal lebih lama. Dengan alasan ingin melanjutkan skripsi, dia meninggalkanku. Jangan tertawa! Tolong, jangan tertawa! Tapi, ya, memang semua terasa seperti drama. Putaran pertama sungguh istimewa, di tengah-tengah getaran makin menggila, lalu di akhir? Aku harus mengikhlaskan dia pergi. Kamu tentu mau tertawa mendengar ceritaku, sungguh, Yo, aku tidak bisa membayangkan parahnya melewati hari-hari ketika sedang patah hati.

Aku pernah tahu rasanya patah hati karena terlalu mencintaimu. Kemudian, ada pria baru yang kemudian telah membawaku ke putaran tertinggi bianglala, namun dia menjungkalkanku ke tanah, hanya demi memuaskan rasa penasaran dia, hanya demi memuaskan rasa keingintahuan dia, hanya untuk menguji apakah setiap kata cinta dari bibirku untuknya adalah nyata atau bualan belaka?

Yo, kamu tahu apa yang membuatku paling sedih? Selama berbulan-bulan aku berusaha menemukan seseorang yang lebih baik darimu. Seseorang yang bisa menawarkanku kebahagiaan seperti ketika kita makan kebab di pinggiran aliran kali Ciliwung. Seseorang yang memberikanku kebahagiaan seperti saat aku dan kamu menyanyikan lagu Taylor Swift di atas sepeda motormu. Seseorang yang tiba-tiba sudah ada di depan kampusku, tetap tersenyum meskipun tubuhnya basah oleh gerimis. Pria yang baru datang ke hidupku walau hanya sesaat itu bisa memberi kebahagiaan lebih daripada kamu membahagiakanku, Yo, tapi mengapa semua ini harus berakhir justru ketika aku sedang ada di puncak tertinggi dalam perasaan mencintai?

Aku lelah meloncat dari satu hubungan ke hubungan lain. Aku lelah menunggu ksatria baru yang akan membawaku menuju cahaya terang. Aku lelah menangisi banyak hal yang harusnya tidak aku rasakan. Aku lelah dan aku rindu dipeluk seseorang, seseorang yang berjanji tidak akan pergi, sekuat dan sehangat pelukmu. 


dari adikmu,
yang akhirnya kembali sendiri lagi.