31 December 2014

Kisah yang Salah

Untuk 'Mas' yang selalu memanggilku dengan sebutan 'Dek'

Masih tersisa bayang-bayangmu di kamarku. Suara pendingin ruangan, ketikan jemariku di laptop, dan setiap inci ketika aku melempar pandang; entah mengapa wajahmu selalu hadir di sana. Aku tahu ini bukan lagi perasaan yang biasa, perasaan ini pun aku tak jelas ujungnya, perasaan yang membuatku bingung dan linglung. Aku pun semakin dibuat bingung kekasihmu, yang tidak pernah kau ceritakan itu memakiku dengan ucapan murahan, jalang, dan berbagai mahluk dari kebun binatang ikut serta dalam hujatan kekasihmu. Aku  baru menyelesaikan satu cerpenku untuk buku yang akan terbit dan makian dari kekasihmu itu benar-benar menghancurkan kelegaanku.

Kita bertengkar hebat, mengapa tidak dari awal kamu mengaku bahwa kamu telah berdua? Meskipun kita belum terikat dalam status dan kejelasan, kejadian ini cukup membuatku terpukul dan terluka. Adakah yang paling sakit ketika kau dibohongi oleh orang yang seratus persen kamu percayai? Dan, kamu merusak kepercayaan yang telah kubangun susah payah demimu. Aku tidak tahu harus menyesal, marah, berteriak, meninggalkanmu, atau secara egois tetap melanjutkan hubungan kita. Yang jelas, saat ini, aku tahu siapa pria yang selama ini kucintai dengan sangat tolol. Kamu cuma pembohong yang menghalalkan segala cara untuk menghapus kesepian dan kehausan dirimu akan perhatian.

Kalau kamu mau aku mengatakan semua dengan sangat jujur. Aku akan bercerita betapa sejak kita berkenalan, kamu telah memunculkan ledakan-ledakan ajaib di hatiku. Kamu adalah gambaran pria sempurna yang kucari selama ini. Berumur dua puluh lima, dewasa, berkulit sawo matang, bertempat tinggal di Jogjakarta, pengusaha peternakan kambing serta bebek, memahami seni, berbicara menggunakan bahasa Jawa halus. Kamu sempurna, Mas, sangat sempurna bagiku. Silaumu menggelapkan mataku, aku seakan pasrah berjalan menuju cahayamu. Aku terlena pada perakapan kita di ujung malam, pada tawamu yang menyegarkanku, pada selera humormu yang cukup tinggi, pada kata-kata cintamu, pada usahamu untuk menahanku pergi.

Aku telah memilihmu, bahkan ketika aku menemukan ada faktor yang entah dinamakan apa, yang membuatku tak ingin meninggalkan ponsel barang sedetik saja; agar tetap mengetahui kabarmu yang jauh di sudut kota sana. Dari makian kekasihmu, perempuan yang tak sepenuhnya aku kenali itu, sesungguhnya aku paham bahwa aku salah telah mengagumimu. Seharusnya, sebelum kita bergerak terlalu jauh, lebih dulu harus kutahu bagaimana status hubunganmu yang sesungguhnya. Aku tak tahu perasaan ini bernama apa, Mas, yang jelas setelah tahu kamu berbohong, aku hanya merasakan mataku panas dan ada yang basah di pipiku.

Sekarang, apa yang harus aku sesali? Kaudan dia sudah menjalin hubungan lama, aku yang baru kaukenali dalam hitungan hari ini hanya bisa berdoa bahwa Tuhan sesegera mungkin melepaskan perasaan ini, agar aku tak jadi pembunuh berdarah dingin yang haus akan rasa bahagia. Aku yang tak tahu salahku di mana, terpaksa meminta maaf pada kekasihmu, walaupun sebenarnya aku tak tahu di mana salahku. Setiap kutanya, kauhanya menutup mulut, berkata maaf, berkata kau mencintaiku, berkata kautak ingin kehilangan aku, berucap bahwa kauingin tetap kita dalam status berteman. Setelah kau hancurkan semua, setelah kau habisi semua harapanku, kaumasih ingin berharap aku tetap bersikap normal ketika luka di hatiku semakin berdarah?

Ah, ini bukan salahmu, juga bukan salah kekasihmu yang memakiku dengan ucapan kasar itu. Ini salahku, gadis yang terlalu cepat mengagumimu, gadis berumur belasan tahun yang merasa bahwa kamu bisa menjadi sandaran hatinya. Ini salahku, pasti salahku, selalu salahku, karena tak paham bahwa perkenalan ini ternyata bisa menjerumuskan aku pada perasaan yang harusnya tidak aku rasakan. Aku minta maaf untuk semua peristiwa yang terjadi tanpa keinginanmu, tanpa keinginan kekasihmu, tanpa keinginan kalian. Aku tidak pernah bermaksud untuk mengganggu kebahagiaamu karena sebenarnya dari awal kau mengaku tak punya seorang kekasih, jadi kurasa masih ada kesempatan untuk membuatmu tertawa dan bahagia lebih dari hari ini.

Aku tak pernah tahu perasaan ini disebut apa. Yang jelas ketika kubilang aku ingin meninggalkanmu, aku ingin mengakhiri semua, aku ingin kaupergi menjauh; aku merasa seperti membohongi diri sendiri. Aku tak tahu perasaan ini dinamakan apa, jika memang bukan cinta, jika memang hanya ketertarikan sesaat, mengapa sekarang aku masih menatap ponselku; berharap kamu menanyakan kabarku?


Dari Adikmu,
yang sukses kaubuat menangis.

Selanjutnya: Bukan Salahmu

27 December 2014

Terlalu Cepat

Untuk Batu Karangku, si kuat yang berhasil menghancurkan pertahananku.

Sehabis hujan sore ini, aku kembali membaca ulang percakapan kita, saat aku dan kamu masih menjadi dua manusia yang bisa dibilang punya kecocokan juga kesamaan. Aku tertawa walaupun diam-diam hatiku teriris mengingat bahwa hal-hal manis ini tak mungkin terjadi lagi. Tak mungkin lagi aku berharap bahwa kamu akan berubah jadi pria yang dulu begitu kukenal, yang kehadiran selalu sulit kuduga, dan yang diam-diam membuatkanku puisi cinta; puisi yang kubaca dengan wajah tersipu. Kenyataan yang harus kuterima, kamu bukan lagi pria yang dulu sangat kucinta, kamu berubah jadi orang asing bermata sipit, berkacamata, yang mungkin tak mau tahu lagi kenangan-kenangan kita dulu.

Rasanya aku masih mengingat kepulan asap rokokmu ketika pertama kali kita berjumpa. Aku masih mengingat wajah lonjongmu, mata sipitmu yang indah dibalut kacamata entah minus berapa, hidung yang cukup mancung, bibir tipis melengkung sempurna yang aku biarkan terus berkata meskipun kadang aku tak memahami pikiranmu yang terlalu bebas. Aku masih ingat betapa suara beratmu merasuk masuk ke telingaku, membisikan melodi cinta yang tidak pernah kudengar sebelumnya. Aku masih menyimpan memori ketika kamu memakai kemeja biru, kulit putihmu yang berubah kemerahan ketika terkena sinaran matahari, dan banyak hal lain yang jika semakin kuingat, semakin membuat dadaku sakit. Aku tak sadar mengapa perkenalan yang tidak sengaja ini sukses membuatku berharap terlalu jauh pada sosok terlalu sempurna sepertimu.

Bagiku kesempurnaanmu adalah beban sangat berat untuk gadis seusiaku. Aku hanya perempuan biasa, kuliah di jurusan yang sangat sederhana, prestasiku tak seberapa, hobiku hanya menulis dan bermimpi, hanya itu yang bisa aku lakukan. Kamu? Dan, kamu? Kamu adalah pria luar biasa, yang diceritakan begitu sempurna dalam film dan rangkaian peristiwa drama, kamu menari, bergerak, berjalan dengan anggun; sementara aku hanya gadis lugu yang hanya berani menatapmu dari jauh dan berharap bahwa pertemuan pertama kita adalah mimpi yang akan terus berlanjut. Aku berharap tidak pernah bangun, berharap tak ada orang yang menyadarkanku bahwa mendekatimu adalah sebuah khayalan yang terlalu tinggi.

Dan, ternyata kamu memang tak sejauh matahari, kamu bukanlah sebuah ilusi. Aku semakin jatuh cinta padamu, pada suatu malam ketika kamu mencium keningku, di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya kala itu. Itu adalah pertemuan terakhir kita, dua kali kita bertemu, namun kamu menghadirkan kenangan yang tak akan pernah bisa kulupakan hanya dalam waktu singkat. Aku tak pernah paham apa yang membuatmu kini menjauh, aku tak tahu mengapa kaulebih percaya cerita mereka daripada pengakuanku. Aku tak tahu mengapa hubungan yang awalnya kukira hanya main-main ini ternyata menimbulkan luka yang luar biasa dalam bagiku. 

Terlalu cepat jika semua harus berakhir. Terlalu cepat jika aku harus kembali bersedih karena kehilangan kamu. Aku sedang di puncak sayang-sayangnya sama kamu, sementara kamu mendorongku dari atas sana, membiarkanku terjerambab, terjatuh sendirian, dan kamu tertawa seakan tidak melakukan kesalahan. Ini terlalu cepat, Batu Karangku. Perempuan yang selalu kamu sebut dengan Laut ini masih ingin memperjuangkan dan mengusahakanmu, tapi mengapa semalam kaubilang kamu telah bersama yang lain? Mungkin, ini tidak akan pernah adil untukku, namun apa yang bisa aku tuntut? Kita tak punya status apapun, menangispun rasanya tak akan membuat kita kembali seperti dulu.

Aku tidak membencimu. Aku cuma benci hari-hari tanpamu. Aku tidak akan pernah menyesal pernah mengenalmu. Aku hanya menyesal mengapa dulu saat kau tawarkan perkenalan, aku terlalu cepat untuk mengulurkan tangan?

Dari Lautmu, yang tenang, diam,
tapi selalu mendoakanmu.