07 September 2014

Saling Melukai

Aku duduk di sini tanpa persetujuanmu, tanpa izinmu tentunya, karena aku rindu kamu, dan ingin bertemu kamu; rasanya alasan itu sudah cukup untuk menjelaskan semua. Kamu melarangku datang, dengan alibi tak ingin materimu berantakan karena ada seseorang yang menyaksikanmu. Ah, kauini, bisa saja membuatku semakin bersemangat untuk melanjutkan hubungan ini dan menumbuhkan perasaanku padamu. Ya, karena hubungan kita terlalu naif jika disebut teman dan terlalu berlebihan disebut kekasih. Kita terjebak dalam hubungan yang entah dinamakan apa.

Atas nama hari kita lalui banyak hal dan peristiwa yang sebenarnya masih tak bisa kukira dan kucerna. Aku bisa dekat denganmu dan ini seperti mimpi wahai Pangeran Medok-ku. Beberapa bulan yang lalu, saat mengantarmu ke bandara siang itu, rasanya masih kurasakan getaran hebat yang tak bisa kupahami dengan akal sehatku. Saat barisan rapi gigimu yang terpasang behel itu, saat kulit hitam manismu menyentuh lenganku, saat asap rokokmu mengepul di udara, dan kita bercerita banyak mimpi yang segera kita wujudkan bersama di Jakarta. 

Aku tidak merangkul apalagi memelukmu, aku tak ingin seluruh mata tertuju pada kita apalagi kaubukan orang biasa. Di balik jaket kulit itu ada tubuh yang sebenarnya sangat ingin kurangkul, kupeluk sampai sulit bernapas, dan kudekap sampai aku lupa pada kesepian. Sayangnya, ah, kamu terlalu tinggi untukku, aku yang hanya penulis biasa, tidak mungkin selevel dengan artis serba bisa sepertimu. Aku hanya perempuan sederhana, yang hanya bisa berkhayal dan bermimpi. Tenang saja, aku selalu sadar diri, bahwa emas sepertimu tak pantas mencintai pasir kali sepertiku.

Aku menghela napas bahagia ketika mengingat hari itu. Si gadis biasa ini punya kesempatan untuk mengisi hari-hari sibukmu. Setelah hari itu pun, percakapan kita masih berlanjut. Tahukah kamu, saat kautak ada di sini, hanya video-video Youtube-mu yang jadi obat rinduku. Hanya alunan suara biolamu yang mengantarkan tidurku. Kita tak dapat bercengkrama lagi via suara karena di kota sana kauterlalu sibuk dan aku tak punya banyak ruang untuk mendengar suara beratmu yang selalu melahap habis ngantukku.

Pentas sudah dimulai dan kamu seperti biasa, dengan gaya sederhanamu, dengan biola ajaibmu, menghipnotis penonton. Berhasil membuat para wanita histeris dalam hati. Ya, kauselalu berhasil soal membuat siapapun merasa jatuh cinta padamu dan aku adalah salah satu orang yang terjebak dalam perasaan itu. Seusai gema tawa itu, kamu kembali ke belakang panggung. Aku penasaran apa yang kaulakukan di sana hingga aku berencana diam-diam menyusulmu.

Aku memperhatikan sosokmu di sana bersama seseorang yang tak kukenal. Kau merangkul mesra gadis seorang gadis yang kukenali. Gadis yang beberapa waktu lalu mengajak aku berkenalan dan menginterogasi semua mengenai hubungan kita. Gadis yang terpaksa kubohongi karena kau memberiku isyarat agar tak bercerita apapun tentang hubungan kita. Gadis yang entah mengapa terlihat sangat bahagia dan puas ketika aku berbohong bahwa aku dan kamu tak memiliki kedekatan apapun.

Gadis itu membasuh keringatmu. Saking mesranya, kautak tahu aku, yang selalu mendengar ucapan "I love you" dari bibirmu ini sedang melihat peristiwa yang tak pernah kuduga sebelumnya. Kalian tertawa dan di situ-- aku hening seketika. Ternyata ini alasanmu melarangku hadir dalam setiap penampilanmu? Kamu berhasil membuatku remuk. Kamu menang, Mas.

Mataku sudah mulai panas dan aku segera menelepon seorang pria yang juga kaukenali.

"Ada apa? Kamu di mana? Masih di sana?" sapa pria itu dengan lembut seperti biasa.

Aku mengatur napasku yang memburu, sebelum menjawab pertanyaan pria itu, "Di belakang panggung, kamu katanya mau...."

"Oh, iya, sebentar." suara itu langsung menggema di belakangku, pria yang tadi tersambung denganku lewat telepon itu sudah berada di sampingku. "Aku nggak nyangka kamu mau datang."

Aku mengangguk senang, sesenang mungkin agar dia tak membaca kesedihanku.

"Kamu suka penampilan aku kan? Mau datang untuk aku kan?"

Sekali lagi aku mengangguk.

"Oh, iya, aku janji mau ngenalin kamu ke Mas itu, ya?" dia menggenggam tanganku dan membawaku berjalan dengan langkah ringan menuju kamu dan gadis itu.

"Mas, tadi keren banget, lho. Materinya pecah!" ucap pria yang menggenggam erat jemariku.

Kamu tidak memperhatikan wajah pria itu, kamu malah memperhatikanku yang menundak dan tak memperhatikan matamu.

"Oh, ya, makasih. Kamu juga lucu, ketawa penonton lebih besar waktu act out-mu, kok." pandanganmu bergantian ke arahku lalu ke arah pria di sampingku.

"Beneran, Mas?" pria di sampingku tertawa geli, "Ini, lho, Mas, pacarku. Penulis, lho. Yang suka ngegalau di Twitter itu."

Aku berusaha mengangkat kepalaku dengan tegar, semakin tegar ketika kulihat jemarimu menggenggam erat jemari gadis itu. Dan, kautak melepaskannya barang sedetikpun. Aku memasang senyum paling bahagia meskipun matamu menatapku dengan tajam, setajam tatapanmu waktu pertama kali kita bertemu di bandara, "Halo, Mas. Tadi bagus banget. Saya pasti beruntung karena ini pertama kalinya saya lihat Mas tampil. Biasanya cuma lihat di Youtube."

Kamu berusaha tertawa dan kurasakan nada terpaksa dalam tawamu. Sikap dingin itu terasa membekukan hatiku. Aku hanya diam ketika kau berbincang dengan pria yang sejak tadi masih menggenggam jemariku. Lalu, kita berpisah dan aku meninggalkanmu. Kali ini, entah mengapa, aku merasa juga jadi pemenang.

Terima kasih, hari ini, kita telah; saling melukai.

9 comments:

  1. Kok keren sih kak, pengen punya ide nulis terus semangat nulis, tapi selalu buntu ditengah jalan, kalaupun aku buat tulisan sampai selesai, pasti agak njlimet alias sulit dipahami.

    ReplyDelete
  2. kak dwita,, kayanya aku tau deh siapa orang yg dimaksud dalam cerita ini.. :)) yg sering stand up comedy itukan? :D

    ReplyDelete
  3. Udah ka dwit sama pria batak aja jangan sama mas dodit heheh *peace*

    ReplyDelete
  4. Mas dodit stand up comedy ya kak?
    Ehm..

    ReplyDelete