30 November 2013

Menemukanmu di Udara

Waktu itu aku masih terlalu dini untuk memahami cinta, yang kutahu aku sangat suka sepak bola hingga aku rela mengejar Bambang Pamungkas, Charis Yulianto, dan Isnan Ali hingga ke Stadion Sawangan. Aku  masih ingat saat itu kiper Timnas Indonesia masih Markus Horison dan Ferry Rotinsulu. Jaraknya stadion dari rumahku adalah empat puluh kilometer. Perjuanganku terbayar ketika peluh keringat tergantikan dengan kebahagiaan berlipat, kita bertemu, waktu itu usiamu tiga tahun di atasku.

Aku tak tahu apa itu namanya perasaan cinta atau kamu hanya memanfaatkan waktu-waktu sempit saat kamu turun minum. Selama ini, setelah kucoba pahami, sepertinya benar kalau itu cuma kertarikan sesaat, ketika kehilangan kabar darimu; aku tak punya keinginan untuk mencarimu. Mungkin, karena aku tahu tak ada yang perlu dilanjutkan ke hubungan yang serius. 

Di stadion tempat pertemuan kita, aku masih ingat kamu selalu menghampiriku yang duduk di dekat rumput pinggir lapangan. Sambil melihat pemain tim nasional berlatih, sesekali kamu mengajakku berbincang, dan aku masih ingat kamu marah besar ketika tahu tim favoritku adalah Persija dan Manchester United. Kamu suka biru, tak suka merah atau orange, kamu suka Persib dan Chelsea. Ah, semua tentangmu ternyata belum benar-benar terhapus dari ingatanku. 

Tubuhmu yang atletis dan peluh yang menetes di pelipismu belum bisa kulupakan. Tim nasional menggunakan lapangan bawah dan kamu yang bergabung di U-19 salah satu tim sepak bola yang tersohor kala itu berlatih di lapangan atas. Sambil menunggu Bambang Pamungkas, pria yang kucintai setengah mati itu turun ke lapangan untuk latihan, sesekali aku melihatmu yang sibuk berlatih di lapangan atas. Tentu aku ingat, kamu melambaikan tanganmu dan memanggil namaku dengan lantang, entah mengapa caramu memperlakukan aku selalu membuatku canggung. Aku, gadis berumur empat belas tahun kala itu hanya bisa tersenyum malu-malu, dan hanya berani mengabadikan namamu dalam ingatan. 

Memang, aku tak menunggumu selesai latihan. Kamu selesai latihan pukul lima, sementara aku harus memerhatikan idolaku yang mulai latihan pukul empat sore. Kamu tentu memahami perasaanku. Namun, aku tak tahu apakah kamu paham arti debar jantungku ketika kamu meminta nomor handphone-ku? Selanjutnya, seperti yang kubayangkan, kita bertukar kabar melalui pesan singkat dan percakapan di telepon. Sejak saat itu, aku selalu menunggu kamu. Sejak saat itu juga, aku mulai takut kehilangan kamu. 

Aku hancur ketika tahu kamu harus pindah ke Jogjakarta untuk melanjutkan mimpimu. Ketika kamu mengucap kata pisah, aku hanya bisa mengangguk lemah. Kita tak pernah terikat dalam hubungan apa-apa, rasanya terlalu naif jika aku harus menangis di depanmu atau terlihat sangat rapuh kala itu. Kubiarkan kamu pergi meninggalkan remuk redam hatiku yang lebam kala itu. Bayangkan, anak SMP bisa patah hati? Akhirnya aku tahu, ini bukan ketertarikan sesaat, ini adalah cinta yang berusaha aku hindari dan kamu pungkiri.

Tadi pagi, aku membuka koran dan rasanya sangat manis bisa melihat namamu tertulis di kolom olahraga. Ini bukan perasaan yang asing, kutemukan diriku yang selalu tersenyum ketika membaca, mendengar, dan melihat namamu di surat kabar, media online, dan media lain yang kupantau dengan ujung jemariku. Kamu berhasil meraih mimpimu bukan? Aku bahagia ketika tahu kamu sudah berhasil menjadikan dirimu seperti yang dulu sering kauceritakan padaku.

Di penerbangan JT567, Adisucipto-Soekarno Hatta ini, aku terbangun dari tidurku karena mendengar dengkuran yang sangat keras. Aku menatap tajam pria yang duduk di sampingku, pria yang cukup tampan dengan sedikit kumis halus di dekat bibirnya. Hidung yang tak terlalu mancung dan rahang yang tegas. Kuperhatikan sosok pria itu semakin dalam, pria yang wajahnya baru tadi pagi kulihat di surat kabar. Oh, ternyata kamu. Kali ini, Tuhan mau bikin apa lagi? Mau bikin hatiku remuk untuk kedua kali? 

Hahaha!

Kamu ingat foto ini? Foto ini kuambil ketika kamu menempelkan kepalamu di kepalaku, untuk melihat gambar yang ada di kamera digitalku. Andai jemariku seperti jemari Tuhan, aku ingin waktu saat itu terhenti.


dari pengagummu
yang masih takut
kehilangan kamu.

02 November 2013

Aku Ingin Kamu Pergi

Untuk Si Tukang Galau,

Aku sudah baca tulisanmu mengenai kesedihan yang selalu kaulebih-lebihkan itu. Mengapa kamu begitu mudah menikmati perasaan sedihmu dan melarikan segalanya ke dalam tulisan? Dewasalah, Sayang, seharusnya setelah kutinggalkan; itulah kesempatan kaubisa belajar banyak hal. Jangan dikira aku tidak membaca tulisanmu, diam-diam aku memerhatikan curahan hati di blog-mu dan saat jam-jam segini, aku sering mengintip lini waktu akun Twitter-mu, mencari-cari adakah sosokku dalam rintihan kegalauanmu?

Sambil mengisap rokok yang asapnya selalu kaubenci, juga menyesap kopi yang rasanya selalu kaucaci;  aku berusaha keras menulis ini. Semoga apapun yang kukatakan secara jujur di sini, tak akan membuatmu kecewa. Aku memang kuliah di Jogja, dengan budaya Jawa yang sangat kental, tapi di sini aku tak akan memberi sanepa atau kode atau isyarat seperti kamu selalu memberiku bahasa-bahasa perasaan aneh itu lalu memintaku menerjemahkan segalanya. Aku benci keegoisanmu tapi entah mengapa malam ini aku sangat merindukanmu.

Di ponsel jadul yang ada di samping laptop-ku ini, yang hanya bisa digunakan untuk menerima telepon dan membaca pesan singkatmu, ada banyak kenangan yang tak bisa kulupakan. Jangan dikira aku sudah melupakanmu, di ponsel ini masih ada pesan singkatmu, masih ada nomor kontakmu, dan masih saja kubiarkan kata-kata cintamu di pesan singkat; abadi dalam kotak masuk. Sayang, aku pun sebenarnya rapuh, tapi aku tidak seperti kamu yang bisa dengan mudah menujukkan kerapuhanmu pada dunia. Aku tidak bisa seperti itu, aku pria dan aku dituntut untuk menerima semua rasa sakit tanpa harus menujukkan air mata. Kuharap kamu memahami itu, Sayang, agar kautak selalu menyalahkanku atas perpisahan ini.

Detik ini, wajahmu mampir di otakku. Saat kamu membawakanku minuman dingin, aku tak bisa melupakan wajah polosmu. Senyummu sangat manis kala itu, rambut yang diikat satu, baju garis-garis hitam pink, jam tangan pink, anting emas putih, dan kalung salib. Tinggimu yang sebahuku membuatku begitu mudah untuk meraih bahumu, aku langsung menggenggam pergelangan tanganmu. Tahukah kamu saat itu aku sangat ingin memelukmu, mencium bibirmu, mengecup telingamu, melumat habis pipimu, dan berakhir dengan kecupan kecil di kening; seperti perjanjian kita mengenai hal yang akan kulakukan ketika pertama kali bertemu kamu.

Tapi, aku canggung. Aku tidak berani menyentuhmu terlalu lama dan tak berani bilang bahwa aku sangat senang jika kamu melihat aksiku menjadi zombie pada teater yang kupentaskan. Sesungguhnya, aku sangat ingin memelukmu kala itu, namun aku takut pada ratusan mata yang menyorot kita, aku takut dandananku yang lusuh mengotori bajumu, dan aku takut aroma tubuhku yang tidak beraroma parfum seperti tubuhmu akan merusak aroma wangi tubuhmu. Dan, ketika melihatmu, pertama kali melihatmu, aku sadar kamu terlalu tinggi untukku, kamu terlalu sempurna untuk sosok sederhana seperti aku. Sayang, inilah rasa sakitku yang tak kaupahami, yang selalu kauartikan bahwa aku pergi karena aku tidak mencintaimu lagi.

Aku menyesal telah pergi meninggalkanmu, aku menyesal telah meminta status kita yang sempat spesial harus kembali lagi menjadi status hanya teman. Kupikir, untuk saat ini, hal itulah yang terbaik. Aku belum siap menghadapi gemerlapnya kamu. Aku takut silaunya duniamu membuat aku tak siap menghadapi apapun yang akan menerjang hubungan kita kelak. Aku tidak siap menjadi pendampingmu, menjadi kekasih yang kisahnya harus selalu kaubawa dalam tulisanmu. Jadi, kuizinkan wanita itu masuk ke dalam hidupku, wanita yang selama ini mengejarku namun kuabaikan karena kaupernah hadir dalam hidupku. Dia hanya mahasiswi biasa, Sayang, bukan penulis skenario film juga bukan penulis novel seperti kamu. Tapi, dia tidak bisa seperti kamu, dia tidak kuat begadang, dia tidak mengerti jalan pikiranku seperti kamu mengerti jalan pikiranku.

Saat aku membicarakan soal sastra feminis, dia hanya geleng-geleng kepala. Mengingat kita pernah berbicara perihal sastra feminis sampai berbusa di tengah malam itu, aku jadi rindu sosokmu yang blak-blakan. Aku rindu kamu yang beberapa kali membantuku menyelesaikan tugas kuliah. Ah, kita sama-sama Sastra Indonesia, namun kaujauh sekali di sudut kota sana. Aku berusaha mencari-cari sosokmu dalam diri wanitaku, namun kautak ada di sana, kamu hanya satu di dunia. Dan, perempuan tukang galau tapi bisa membuatku nyaman selama ini hanyalah kamu. Kamu yang saat ini berusaha kujauhi, berusaha kubenci, dan berusaha kubunuh dalam hati.

Kita telah berpisah dan ini menyebabkanku ingkar janji. Aku pernah berjanji ingin mengajakmu ke kamar kontrakanku, yang ada di dekat vokasi UGM, dekat air terjun, yang suara gemerisik airnya selalu membuatmu tenang ketika berbicara denganku di telepon. Janjiku dulu, aku ingin membuat kamu mabuk dengan ciu atau dengan beer murah yang hanya sanggup kubeli dengan uang saku yang kumiliki. Pokoknya, apapun minumannya, aku ingin kita mabuk berdua. Lalu, aku membawamu ke dalam pelukan, menikmati wajahmu yang pusing dan hampir ambruk. Sesekali, di keremangan kamarku, kamu pasti bertanya soal poster Sapardi Djoko Damono yang kutempelkan di kamarku, lalu bertanya mengenai udara Jogja yang semakin malam semakin dingin. Itu masih dalam khayalanku. Khayalan yang kautolak mentah-mentah, dengan tawa pecah, ketika aku ungkapkan keinginan itu padamu.

Wahai gadisku yang senang bergalau ria di dunia seratus empat puluh karakter, meskipun kita tak lagi bersama, maukah kausering-sering datang ke Jogja; supaya aku tahu, apa yang sesungguhnya kaucari selama ini? Apakah kausungguh mencintaiku atau hanya menginginkan kisah kita untuk jadi bahan tulisanmu?

dari Zombie-mu
yang seringkali
tak tahu diri.