29 March 2013

Bukan Kisah yang Terlalu Penting

Aku  masih merasakan sesak yang sama. Aku tahu bahwa pada akhirnya aku akan sesedih ini, aku berusaha menghindari air mata sekuat yang aku bisa. Tapi, kautahu, aku adalah wanita paling tidak kuat menahan kesedihan. Kamu mendengar ceritaku tentang pria itu kan? Aku selalu bercerita padamu tentang dia. Seberapa dalamnya perasaanku, seberapa kuat cinta makin menerkamku, dan seberapa hebat senyumnya bisa begitu meneguhkan langkahku.

Kamu tentu tahu seberapa dalam perasaanku padanya dan betapa aku takut perbedaan aku dan dia menjadi jurang. Aku tak pernah memikirkan perpisahan selama ini, tapi ternyata hal yang begitu tak ingin kupikirkan pada akhirnya terpaksa masuk otakku. Aku dan dia tak lagi seperti dulu. Sapaannya tak lagi sehangat dulu, senyumnya tak lagi semanis dulu, dan tawanya tak lagi serenyah dulu. Aku tak tahu perubahan macam apa yang membuat sosok pria itu begitu berbeda.

Dari semua sikapku, tak mungkin kautak tahu aku punya perasaan lebih padanya. Dari semua ceritaku, tak mungkin kautak paham bahwa aku mulai jatuh cinta padanya. Aku terlalu banyak diam dan memendam, mungkin di situlah kesalahanku. Terlalu egois mengatakan dan terlalu takut mengungkapkan. Aku tak bisa menyalahkan siapa-siapa dan tak bisa mengkambinghitamkan siapa pun. Bukankah dalam cinta tak pernah ada yang salah?

Mengetahui kenyataan yang mencekam seperti itu, aku jadi malas tersenyum dan berbicara banyak tentang perasaanku pada orang lain. Aku malah semakin belajar untuk menutup rapat-rapat mulutku pada setiap perasaan yang minta diledakkan lewat curhat-curhat kecil. 

Berbahagialah kamu bersama pria itu, pria yang selalu kubawa dalam cerita-ceritaku. Pria yang bagiku terlalu tinggi untuk kugapai dan terlalu misterius untuk kumengerti jalan pikirannya. Setiap melihatmu dengan pria itu, aku berusaha meyakinkan diriku; bahwa aku juga harus ikut berbahagia melihatmu dengannya. Sejatinya, cinta adalah ikhlas melihat orang yang kucintai bahagia meskipun ia tak pernah menjadikanku pilhan satu-satunya.

Tenanglah, aku sudah mulai melupakannya. Sudah ada seorang pria baru, yang tak begitu kucintai, tapi kehadirannya bisa sedikit mengundang senyum di bibirku. Aku tak tahu, apakah perasaanku pada pria baru itu adalah cinta. Aku tak berusaha memahami, apakah hubungan yang kami jalani selama ini adalah ketertarikan sesaat atau hanya sarana untuk menyembuhkan luka hatiku? Kami tertawa bersama, menghabiskan waktu berdua, tapi segalanya terasa biasa saja. Tak ada ledakkan yang begitu menyenangkan ketika aku bertatap mata dengannya.

Pria yang selalu kuceritakan padamu, yang kini telah menjadi kekasihmu, selalu berbentuk gumpalan bayang-bayang di otakku. Semakin aku berusaha melawan, semakin aku tak bisa menerima bahwa segalanya tak lagi sama. Aku tak ingin ingatanku dan perasaanku yang dulu begitu besar pada masa lalu menjadi penyiksa untuk pria baru yang ingin membahagiakanku kelak. Aku hanya berusaha mengerti yang terjadi dan berusaha pasrah dengan kenyataan yang memang harus kuketahui. Aku tak ingin dibohongi oleh kesemuan yang membahagiakan, lebih baik kenyataan yang memuakan tapi penuh kejelasan. 

Aku mohon, jagalah pria itu dengan susah payah, dengan sekuat tenagamu. Aku ingin kebahagiaannya terjamin olehmu. Aku ingin dia bahagia bersamamu. Di sini, aku tak bisa berbuat banyak, selain membantu dalam doa.

Aku tak sempat membuat dia tersenyum. Tolong, inilah permintaanku yang terakhir, setelah ini aku tak akan mengganggumu; bahagiakan dia, buatlah dia terus tersanyum, dan biarkan saja dia tak tahu ada seseorang yang terluka diam-diam di sini.

20 March 2013

Susu Kaleng

                “Muka kamu kok layu banget? Kamu belum sarapan?”
                “Belum, sih, maklum anak kosan. Sarapan dan makan siang digabung jadi satu.”
                Dian merogoh tasnya dan segera menggenggam susu kaleng, “Ini buat kamu. Diminum, ya, supaya muka kamu nggak layu kalau di kelas.”
                “Terima kasih, Dian.”
                “Tapi, maaf, ya, kalau rasa stroberi. Kamu lebih suka rasa coklat kan?”
                “Wah, kalau begitu mulai sekarang aku suka yang rasa stroberi saja.” ucap Reksa sambil menatap bola mata Dian.
                Tatapan mereka sering bertemu, walaupun terasa menggetarkan hati, tapi Dian dan Reksa mencoba melawan perasaan itu. Mereka sangat yakin bahwa segalanya hanya berdasarkan pertemanan. Mereka terus melawan dan memercayai anggapan bahwa tak pernah ada cinta di antara mereka. Memendam. Itulah hal yang selalu Dian dan Reksa lakukan selama ini. Pengetahuan mereka sebatas status berteman tanpa melanjutkan ke status yang lebih serius.
                “Ada puisi baru?”
                “Ada, tapi masih bingung ingin diberi judul apa.”
                “Puisinya tentang apa?”
                “Tentang kerinduan.”
                Dian mendekatkan posisi duduknya, “Kerinduan? Tema yang manis dan hangat, berapa menit kamu bikinnya? Lima belas menit?”
                “Lima belas menit hanya cukup untuk membuat mie instan, Dian.”
                “Segalanya selalu mungkin, Reksa. Kamu pernah bilang ke aku, hal yang tak mungkin hanya memakan kepala sendiri kan?”
                “Aku pernah bilang seperti itu?” kening Reksa mengkerut, otaknya kembali memutar memori masa lalu.
                Aku tak pernah melupakan setiap perkataanmu. Bisik Dian dalam hati. Bisikan yang tak pernah Reksa ketahui, suara hati yang sengaja disembunyikan rapat-rapat.
                “Coba kamu baca dulu puisiku, setelah itu kamu beri judul yang menarik.” Reksa memberikan secarik kertas untuk Dian, berisi puisi yang Reksa buat. Tangan Reksa erat menggenggam susu kaleng, ia meneguk susu kaleng pemberian Dian dengan perasaan yang masih ia sembunyikan. Cintakah?
                Wanita yang masih sibuk menyembunyikan perasaan harunya terus membaca puisi Reksa dalam hati, “Tumben, puisimu yang kali ini maknanya sangat mendalam.”
                “Jadi, sudah kaudapatkan judulnya?”
                “Rindu tak pernah cukup. Beri saja judul itu.”
                “Kenapa judulnya sedih begitu?”
                “Itu tidak sedih. Rindu sama seperti cinta— tak berkesudahan.”
                Reksa mengangguk setuju. Ia terus menggenggam susu kaleng yang Dian berikan untuknya. Bola mata mereka kembali bertemu. Sangat lama.
                Dua orang yang hatinya mulai berdekatan ini tak tahu harus berbuat apa. Mereka cuma tahu; beberapa hal hanya perlu dijalani dan dirasakan, tanpa perlu diungkapkan.
***
                Hal itu sudah menjadi kebiasaan. Dian sengaja datang lebih pagi agar bertemu Reksa, begitu juga dengan Reksa yang sengaja melajukan sepeda motornya lebih cepat agar segera menemui Dian. Segalanya terjadi begitu saja, tak ada dorongan apapun selain kenyamanan dan keinginan untuk terus bersama.
                Dian sudah menunggu selama lima menit, kelas masih begitu sepi tanpa kehadiran Reksa. Jemari Dian menggenggam susu kaleng. Ketika terdengar suara pintu terbuka, Dian langsung menoleh. Reksa menghela napas lega ketika menatap Dian yang menunggu dengan wajah masam.
                “Maaf, tadi aku mengantar temanku sebentar.”
                Senyum Dian dipaksakan mengembang, “Untuk apa minta maaf, kita tak pernah berjanji kan?”
                “Aku tetap merasa tidak enak kalau membuat seseorang menunggu.”
                “Bukan seberapa lama aku menunggu, yang penting kaudatang dan aku bisa memberikan susu kaleng ini untukmu.”
    “Lain kali aku tidak akan datang telat.”
    “Jangan berjanji, aku takut kautak bisa menepati janjimu sendiri.” ungkap Dian dengan nada
menyedihkan. Ia seakan tahu yang akan terjadi selanjutnya. “Memangnya, kamu tadi mengantar siapa?”
                “Aku mengantar Sora.”
                Reksa berbohong. Ia sudah bangun sejak subuh, pagi ini ia ingin menyatakan perasaannya pada Dian. Reksa ingin menjadikan Dian seseorang yang memiliki posisi lebih dari teman di dalam hatinya. Sejak subuh tadi, ia memikirkan cara terbaik untuk mengungkapkan perasaan. Matanya yang berat dan kantuk mata yang tebal adalah bukti bahwa ia hanya tidur sesaat.
                Mendengar kebohongan Reksa yang kebenarannya tak diketahui Dian, ia langsung terdiam. Ia cemburu.
                “Nampaknya, Sora begitu penting buatmu, ya?”
                Tak sempat Reksa menjelaskan segalanya, ponsel Dian berbunyi.
                “Halo.”
                “Halo, Dian. Kamu sudah di kampus, ya?”
                “Iya, ada apa, Jude?”
                “Aku tadi ingin mengantarmu ke kampus, tapi ternyata kamu sudah berangkat duluan. Bagaimana kalau seusai pulang kampus, aku menjemputmu?”
                Mendengar ajakan yang memuakan— Dian langsung memutuskan pembicaraan.
                “Kok, ditutup?” seloroh Reksa dengan tatapan menyelidik, “Siapa? Jude?”
                Anggukan kepala Dian melemah.
                “Kenapa tidak mau dijemput dan diantar oleh pria bermobil mewah itu, Dian?”
                “Aku datang lebih pagi agar bisa memberi susu kaleng ini untukmu, aku tahu kamu pasti tak sarapan. Aku tak ingin melihatmu lesu saat pelajaran.”
                “Hanya untuk memberikan susu kaleng ini untukku?”
                Sebenarnya lebih dari itu! Ungkap Dian dalam hati, tapi ia tak boleh mengatakan perasaann sesungguhnya, “Iya, hanya untuk mengantarkan susu kaleng ini, tak lebih.”
                Dian berbohong, ia mendustai hatinya sendiri.
                Gantian Reksa yang terdiam sangat lama. Puisi yang sudah ia kantongi di sakunya tak jadi ia berikan untuk Dian. Ia menatap Dian dengan tatapan seakan tak memercayai perkataan Dian.
                Wajah Reksa merah padam, kemarahan memuncak. Kenapa ia harus marah? Sungguh, Reksa bahkan tak mampu memahami perasaannya sendiri.
                Ia menyambar susu kaleng pemberian Dian dan meninggalkan Dian sendirian.
                Dian membuat hujan di pelupuk matanya sendiri.
***
                Sambil menggenggam susu kaleng, ia menunggu Reksa datang. Dian terus menunggu, bahkan sampai kelas ramai. Reksa baru hadir ketika kelas hampir dimulai. Kejadian itu terus berulang setiap hari. Dian ingin mengajak Reksa berbicara, tapi Reksa selalu menghindar. Melihat perubahan Reksa, Dian berusaha mencari kabar.
                Dia harus menghela napas panjang. Reksa telah menjadi kekasih Sora. Hal itu terjadi tanpa sepengetahuan Dian. Segalanya tertahan tanpa pernah diungkapkan. Hal-hal manis yang pernah terjadi seakan menguap bak asap rokok— hilang tak berbekas.
                Dian tak pernah ingin hal ini terjadi. Segalanya berakhir tanpa ucap kata pisah.
                Perlakuannya masih sama, ia masih sering menunggu Reksa dari pagi hingga kelas kuliah dimulai. Dian tak pernah lelah menunggu, tapi Reksa tak pernah lagi datang.
                Reksa tahu Dian menunggu, tapi Reksa tak ingin lagi tahu. Ia hanya tahu bahwa Dian melakukan segalanya, menunggu sosoknya datang, hanya untuk memberikan susu kaleng berukuran kecil. Tak lebih!
                Mereka berubah; tak lagi sama.
                Ada sesuatu yang masih membuat Dian terharu, Reksa memang selalu datang beberapa menit sebelum perkuliahan dimulai. Dalam ketergesa-gesaan saat memasuki kelas, Reksa selalu menggenggam susu kaleng rasa stoberi di jemarinya. Dian memerhatikan itu, tapi ia tak bisa lagi bertindak lebih selain memerhatikan diam-diam.
                Kali ini, Reksa meneguk susu kaleng stroberi tanpa ditemani oleh pembicaraan manis bersama Dian. Seakan Reksa sudah bisa hidup tanpa Dian.
                Mereka masih diam, terus diam, sampai-sampai tak pernah tahu perasaan masing-masing.

17 March 2013

Surat Cinta untuk Jokowi (2)

Baca sebelumnya: Surat Cinta untuk Jokowi


Aku tak perlu menanyakan kabarmu, karena senyummu yang manis kala itu sudah menjawab segalanya. Nampaknya kamu sehat-sehat saja. Sinar matamu yang bersinar terang cukup membuatku tenang. Tak berkurang kegilaanku, aku ternyata semakin mencintaimu dalam keadaan sadar ataupun tidak sadar.

Pengeran kotak-kotakku datang dengan kemeja putih. Tampak sangat tampan dan memukau. Tubuhnya yang tipis membuatku ingin selalu melindunginya dalam pelukan. Baiklah, aku lancang. Ketika menyadari posisiku bukan siapa-siapa, aku memilih menatapmu dari jauh.

Sudah lama kutunggu saat-saat itu, saat aku bisa menggenggam erat jemarimu meskipun harus berjibaku dengan ratusan penggemar. Aku memimpikan saat-saat bisa menyelami banyak hal yang ada di bola matamu. Siang tadi, aku merasakannya. Kuatnya magismu, tawa lembutmu, dan suaramu yang santai menyebabkan gerakan aneh di hatiku; entah perasaan apa.

Senyummu yang bisa kunikmati dari jarak lima meter itu terus mengguncangkan pikiranku. Kalau kautak ada di panggung kala itu, aku akan memelukmu erat-erat dan tak akan melepaskanmu sampai kapan pun. Mustahil. Siapa aku di matamu? Rasa kagumku terlalu kecil jika dibandingkan dengan rasa kagum dan perhatian mereka untukmu. Keberaniaanku untuk menyentuhmu terlalu lemah, hingga hanya jemari dan bahumu saja yang bisa kusentuh.

Kebahagiaanku berlipat ganda. Senyummu bisa kunikmati tanpa batasan layar kaca. Kamu mau tahu perjuanganku saat menemuimu? Aku bangun pagi dan bergegas mengambil undangan, itu kulakukan hanya untuk menemuimu. Aku harus menempuh jarak puluhan kilometer, Bogor-Jakarta; hanya untuk menikmati senyummu. Aku tak sarapan dan makan siang, hanya untuk merasakan hangatnya jemarimu mengisi sela-sela jemariku saat kita bersalaman. Sekarang, saat sedang menulis ini, kepalaku seakan berputar tak karuan. Sosokmu yang manis dan riuh penonton kala itu masih terdengar di telingaku.

Ini pertama kalinya aku bertemu denganmu. Kepercayaan dan keyakinanku terjawab juga, jika Tuhan mau— segala yang tak mungkin bisa saja menyentuh nyata. Aku tak berharap ini adalah pertemuan pertama dan terakhir. Izinkan aku terus berdoa untuk pertemuan kita selanjutnya. Perbolehkan aku terus mencintaimu dalam diam dan ketakutanku.

Takut? Apa yang kutakutkan? Aku takut jika hanya aku yang histeris sendirian ketika kautiba-tiba muncul dalam ingatanku. Aku takut jika perhatianku tak benar-benar kaurasakan. Aku takut pada ketidaktahuanmu terhadap sosokku.

Kausaja tidak tahu namaku, masih pantaskah aku berharap lebih?

dari pengagummu
yang selalu merindukan pertemuan nyata

14 March 2013

Tipuan


                “Jangan anggap ini tipuan ataupun permainan, ini sungguhan, Sayang!”
                Aku tersenyum geli, berusaha mencerna kata-katanya dengan baik dan benar. “Iya, Sayang, aku selalu percaya apa yang kamu katakan.”
                “Bim Salabim, hilanglah permen dari tanganku!” ia mengucapkan mantra, “Sayang, kamu tiup tangan aku sekarang. Lihat apa yang terjadi.”
                Napasku mengembuskan udara di tangan kanannya dan permen yang sejak tadi ia genggam tiba-tiba hilang begitu saja.
                “Sayang, kok permennya hilang?”
                “Namanya juga sulap.” Jerry mencubit hidungku, “Kamu suka permainan sulap aku?”
                “Suka... tapi, tadi tipuan kan? Kepalsuan?”
                “Nggak, Sayang. Itu beneran magic!”
                Anggukan kepalaku berusaha terlihat mantap di depan mata Jerry. Aku mencintainya dan tidak akan mungkin mengecewakannya.
                “Tadi bagaimana di kampusmu? Segalanya menyenangkan?”
                “Iya, Sayang. Kalau kampusmu, gimana?”
                “Sama menyenangkannya, seperti yang kamu rasakan.”
                Aku tersenyum, aku selalu senang jika orang yang kucintai bahagia dengan pilihannya.
                “Dia masih bersamamu?”
                Jerry terdiam.
                “Masih ya?”
                “Kamu tahu aku hanya punya perasaan lebih sama kamu.”
                “Kalau sama dia, apa perasaanmu tak lebih?”
                Sunyi meringkuk kebersamaan kami kala itu. Pertanyaan yang kulontarkan tak membuahkan jawab di bibir Jerry.
                “Bahkan untuk menjawab pertanyaan semudah itu saja; kamu tak bisa.”
                “Jika aku selalu meluangkan waktu untukmu agar bisa bertemu, masih haruskah banyak alasan kujelaskan?”
                “Kadang, seseorang seakan-akan terlihat mencintaimu, namun di sisi lain­­; ia sebenarnya mencintai orang lain.”
                “Aku bukan pria seperti itu.”
                “Siapa yang tahu segalanya? Aku tak selalu ada di sampingmu.”
                “Kamu tak selalu ada di sampingku, tapi bukankah aku selalu ada di sampingmu ketika kamu butuh?”
                “Hanya saat butuh.”
                Jerry menghela napas, “Kita tak bisa terus bertemu, jangan sia-siakan pertemuan kali ini!”
                Aku terpaksa mengalah. Ia melanjutkan lagi permainan sulapnya, yang selalu ia yakinkan padaku bahwa semuanya adalah magic bukan tipuan!
                Senyumku mengembang tak seikhlas awal permainan. Ada sesuatu mengganjal dalam hatiku. Entah mengapa, saat melihat matanya, aku seperti takut pada rasa kehilangan.
***
                Aku wanita yang baru saja mengenal cinta. Aku belum paham apakah cinta hanyalah ruang untuk dua orang atau bisa juga untuk tiga orang. Hati pada akhirnya melangkahkan harapanku pada Jerry. Pria yang semakin aku kenal, semakin tak kupahami juga jalan pikirannya.
                Dia kekasih sahabatku.
                Iya, aku tahu, ini kesalahanku yang tak bisa menahan diri agar tak jatuh cinta dengan orang lain. Tapi, apakah manusia bisa menduga dengan siapa dia akan jatuh cinta? Omong kosong jika orang ketiga adalah sumber masalah dari segala macam pertengkaran antara dua orang yang saling mencintai. Aku tak pernah memaksa Jerry untuk terus bersamaku, dia yang mendatangiku ketika aku membutuhkan kehadirannya. Terkadang, aku sedih dan sepi sendiri; aku berprinsip tak akan memperlihatkan air mataku di depannya. Aku cukup kuat menahan diri agar tak menangis di depannya.
                Aku tak ingin kehadiranku mengganggunya. Aku tak ingin hubunganku bersama Jerry menyebabkan air mata di pelupuk mata sahabatku sendiri. Kepercayaanku sepenuhnya untuk Jerry. Aku percaya bahwa pelukannya, kata-katanya, dan tindakan manisnya hanya ia berikan untukku satu-satunya. Aku percaya segalanya tentang Jerry. Aku tak mau tahu apa yang telah dilakukan Jerry bersama dengan sahabatku. Aku tak mau tahu, tapi sahabatku selalu bercerita padaku tentang yang ia lakukan bersama Jerry. Itu membuatku muak dan ingin menangis sekencang-kencangnya. Apa salahku hingga aku dibikin sakit begini?
                Mungkin, ini kesalahan yang aku buat sendiri. Mungkin....
                “Sayang!” Jerry menepuk bahuku. “Kenapa murung?”
                Ia duduk tepat di depanku, matanya meneliti wajahku yang terlipat cemberut.
                “Hari ini, kamu dua tahunan sama dia kan? Nggak kasih kejutan?”
                “Sehabis pulang dari sini, aku mau kasih kejutan sama dia. Kamu mau bantu?”
                Aku terdiam. Dengan membantu memberi kejutan mengenai hari jadi hubungan mereka, hal itu turut membantu menggoreskan luka baru bagiku.
                “Kaupergi sendiri sajalah. Tugasku banyak.”
                “Tugasmu banyak atau kamu takut cemburu?” dengan nada yang baginya lucu, ia menertawaiku.
                “Cara becandamu murahan.”
                “Kalau kamu wanita murahan.” Jerry tertawa lebih kencang kali ini.
                “Bukankah hanya pria paling murahan yang hanya tertarik wanita murahan? Kamu lebih murah.”
                Jerry berhenti tertawa.
***
                Aku melihat senyum bahagia mereka dari kejauhan. Suasana senja kala itu seperti adegan film paling romantis, tapi paling miris dalam pandanganku.
                Jerry mencium kening sahabatku dengan mesra, menyematkan cincin di jari manis sahabatku, kemudian memeluk sahabatku dengan pelukan paling mesra. Pelukan yang nampaknya tak kurasakan sehangat itu ketika bersama Jerry.
                Dari kaca mobil, aku bisa menangis tanpa terlihat oleh Jerry. Aku selalu menangis di belakangnya, karena dengan cara seperti itu; aku tak akan terlihat lemah dan terluka parah.
                Beberapa menit kemudian, kulihat Jerry mengambil jarak sebentar. Ia berjalan menjauhi sahabatku dan mengambil ponsel di celana jeans-nya. Aku tahu ia meneleponku, karena handphone-ku bergetar hebat kala itu.
                Bagiku, itu mengagetkan. Ia masih bersama sahabatku, namun ternyata ia masih memikirkan aku. Aku heran dan mencoba menepis prasangka-prasangka baik mengenai Jerry. Aku memilih melajukan mobilku, mematikan handphone-ku, memutar musik keras-keras, agar tangisku— tak terdengar memilukan.
                Aku tak perlu ada ditengah-tengah kebahagiaan dua orang.
    Harusnya kesadaranku tumbuh sejak awal, agar aku tak terlalu perih.
    Mungkinkah ini kesalahan?
    Mengapa orang ketiga selalu dipersalahkan? Apakah mereka  tahu yang sesungguhnya aku
rasakan? Dalam suasana seperti ini, sebenarnya aku lebih butuh kehadiran Jerry; bukan kehadiran isak tangis.  
                Semua tak lebih dari tipuan, sama seperti saat Jerry memperlihatkan keahlian sulapnya.
                Hanya tipuan. Begitu juga soal perasaan.

09 March 2013

Ketika Aku Mulai Memahamimu

Awalnya, ini hanya perasaan kagum yang tak begitu kupedulikan, tapi ternyata aku salah; perasaan ini berkembang menjadi rasa takut kehilangan yang sulit kuhindari. Aku mulai menyayangimu tanpa sepengetahuanmu. Semua berjalan seperti biasa dan aku semakin menikmati kedekatan kita yang entah harus diberi nama dengan status apa.

Aku tak pernah takut saat mencintaimu. Layaknya air laut yang mengikuti lekuk gelombang, seperti itulah aku membiarkan rasa cintaku terus mengalir tanpa kendali. Percakapan setiap malam yang kauselipkan lewat pesan singkat mampu menyeretku ke perasaan yang dulu sangat ingin kuhindari; cinta. Kamu membuka mataku dengan tindakanmu yang ajaib, sampai-sampai aku tak lagi paham alasan yang harus kujelaskan; mengapa aku bisa begitu menggilaimu.

Cinta ini sangat tulus. Sungguh. Tak ada penuntutan yang kulakukan, aku juga tak mengganggumu, dan aku juga tak meminta status serta kejelasan. Aku tidak seberani itu kan? Kamu mengetahuiku juga mengenalku, tak mungkin jika kautak menyadari ada perasaan berbeda dalam hatiku. Aku bisa menebak matamu, ketika kamu bercerita tentang dunia yang ingin kausinggahi, saat kaumembawaku ke dalam dunia ceritamu yang sudah mulai kupahami. Aku berusaha memahami kemisteriusanmu.

Aku merasa sudah mulai memahami. Aku merasa punya kesempatan untuk sedikit mencicipi hidup menyenangkan bersamamu. Aku sanggup mengisi hari-harimu dengan kebahagiaan baru. Tapi, ternyata kita tak sejalan. Perhatian yang kusediakan khusus untukmu seakan menguap tak berbekas. Rasa cinta yang kuperjuangan dengan sangat demimu seolah-olah tak pernah mampir sedikit dalam benakmu. Kaubiarkan aku  mengejar bayangan, sementara kenyataan yang sesungguhnya entah kausembunyikan di mana. Batas kebahagiaan yang dulu kaujelaskan secara utuh padaku; kini buram dan hitam.

Tidak mungkin kautidak tahu bahwa aku mencintaimu. Tidak mungkin kautak memahami perhatian dan tindakanku. Tidak mungkin hatimu begitu buta untuk mengartikan segalanya yang kurasakan terhadapmu adalah cinta! Apa hatimu sengaja kaukunci rapat untukku? Apa matamu sengaja kaubutakan agar tak membiarkan bayanganmu menyentuh retinamu?

Langkahku terus mencoba menggapaimu, jemariku merasa menggenggam tanganmu; namun, ternyata semua kosong. Kukira, percakapan kita adalah hal yang spesial bagimu. Kusangka, semua perlakuanmu terhadapku adalah bukti bahwa kaumenganggapku istimewa. Nyatanya, aku salah menafsirkan. Bagimu, aku bukan siapa-siapa dan tak berarti apa-apa.

Aku tak bisa menahanmu pergi. Bahkan, ketika kaumemilih habiskan kebahagiaanmu bersama yang lain, kemudian membiarkan aku sendirian. Tanpa mengucapkan pisah dan tanpa kautahu sudah ada yang tumbuh diam-diam di hatiku; cinta.

Ternyata, aku belum benar-benar memahamimu. Ternyata, aku belum benar-benar mengenalmu. Ternyata, kamu yang kuperjuangkan dengan sangat mendalam; tak sehebat yang kubayangkan.

05 March 2013

Makan di sampingmu

            Aku berjalan dengan langkah bingung. Asap rokok dan dengung suara pengunjung kantin seperti bergantian mengganggu indra penciuman dan indra pendengaranku. Mataku sibuk mencari dia, pria yang selalu ingin kutemui setiap usai kelas.
"Shena!" seseorang yang kuhapal garis wajahnya mengangkat tangan; memanggil namaku dengan suara nyaring.
Aku berjalan menghampirinya dengan senyum yang kuhias dengan lengkungan paling manis, barisan gigiku yang rapi kuperlihatkan seutuhnya. Senyum itu hanya untuknya.
"Udah makan?" Ia menepuk pundakku, bertanya dengan tatapannya yang teduh dan hangat.
Aku tak langsung menjawab, terpaku beberapa saat menemukan bola matanya benar-benar menyorot tajam mataku. "Gue belum makan, kenapa?"
"Beli ayam kremes deh, nanti gue bagi sama elo aja."
"Oke," tanpa menolak, aku segera meraih dompet di tasku, "Elo suka yang pakai sambal kan?"
Ia mengangguk setuju. Aku segera tahu kemauannya. Sambal adalah kecintaannya, tapi kebencian bagiku. Saat makan ayam kremes, sesampainya di rumah perutku langsung sakit luar biasa, seperti ada jutaan tangan yang mengoyak-ngoyak perutku. Sungguh, aku tak suka sambal, tapi demi bisa makan bersamanya; aku akan melakukan apapun, meskipun segalanya siksa bagiku. Bodohkah aku? Mungkin.
Aku mengantre cukup lama, karena ayam kremes adalah makanan paling laris di kantin. Setelah sepiring nasi bersama ayam dan sambal sudah ada dalam tanganku, aku segera berjalan ke arah mejanya. Ia sibuk berbincang-bincang dengan teman-teman yang lain. Mereka menghisap rokoknya dalam-dalam, kemudian mengembuskan asap rokok ke udara. Aku benci asap rokok, tapi demi bisa menatap wajahnya lebih lama; aku harus sering menghirup asap rokok. Salahkah aku? Mungkin.
Aku duduk di sampingnya, ia memasang senyum paling manis untukku, yang kurasa hanya untukku.
"Nasinya gue minta banyak, karena gue tahu elo pasti ikutan makan."
Pria itu tertawa geli. Pria yang selalu ingin kujaga tawanya, yang selalu ingin kuabadikan senyumnya. Kami makan bersama, dia mencolek nasi beserta ayam kremes ke sambal yang telah kusediakan khusus untuknya. Sesekali aku mencuri pandang ke arahnya. Aku perhatikan cara ia mengunyah makanan, cara ia mencibirkan bibirnya ketika sambal menyentuh lidahnya; aku tersenyum dalam hati.
Aku selalu suka saat bisa makan ayam kremes bersamanya. Saat lengan kita bertemu karena aku duduk tepat di sampingnya. Itulah waktu yang paling tak ingin kusia-siakan. Hanya saat makan ayam kremes, aku bisa merasakan kehangatan yang menjalar di dadaku, semakin menguat ketika kudengar dia bercerita dengan mulutnya yang masih penuh dengan nasi.
Saat makanan kita habis, ingin rasanya aku membeli ayam kremes, dan mengulang lagi waktu yang berlalu tadi. Aku ingin terus makan ayam kremes bersamanya. Saat bersamanya, hal bodoh lainnya segera kulupakan. Aku jadi suka menantang lidahku dengan sambal dan aku jadi senang makan ayam; kesukaanku sebenarnya ikan. Iya, aku melakukan banyak hal, mengubah kesukaanku, mengubah tata sikapku saat di depannya. Aku tak ingin terlihat cacat di mata pria yang sangat kucintai.
Dia mengubah rasa ayam kremes di lidahku menjadi nikmat dan tak terlupakan. Sebenarnya, bukan persoalan ayam kremesnya. Aku hanya tak ingin melewatkan saat-saat bisa berdekatan dengannya, saat kami makan ayam kremes.
"Thanks, ya, udah nemenin makan." ucap pria itu sambil meraih air putih yang juga kebelikan untuknya.
Aku mengangguk lemah. Karena tak begitu tahan pada asap rokok, aku meninggalkan dia bersama teman-temanku yang lain. Aku pamit, dengan senyum yang kubikin seakan tak terjadi apa-apa. Hanya satu hal yang begitu kukejar saat berada di kantin, makan ayam kremes bersamanya.
Aku meninggalkan meja dan bangku yang kududuki di kantin, berjalan dengan langkah yang kuat; menunggu pertemuan esok hari. Aku akan makan ayam kremes bersama dengannya lagi. Seperti biasa.
Dia akan selalu kupandangi seperti itu, dari sampingku ketika aku diam-diam mencuri pandang ke wajahnya. Dia akan selalu seperti itu, diam-diam kucintai.
***
Entah sudah berapa ayam kremes yang kuhabiskan bersama dengannya. Entah sudah berapa es teh yang kami minum bersama. Tak ada ikatan apa-apa, juga hubungan apa-apa. Tak ada pesan singkat yang kubaca setiap malam darinya atau sekadar sapaan ringan pada pagi hari. Aku mengharapkan itu semua, sungguh. Sudah berbulan-bulan aku memendam perasaan, tak mungkin dia tak tahu bagaimana perasaanku. Sudah banyak ayam kremes dan es teh yang kami habiskan bersama, tak mungkin dia tak menyadari segalanya.
Aku berlaku seperti biasanya, seusai kelas langsung berjalan menuju kantin. Harapku begitu besar terhadapnya, ada sesuatu yang harus kukatakan. Apa gunanya merasakan jika tertahan dan tidak diungkapkan? Apa untungnya mencintai tanpa perjuangan sama sekali?
Iya, aku berjalan ke arahnya. Mata kami sempat bertemu, tapi tak kulihat lambaiannya tangannya mengarah kepadaku. Dia hanya tersenyum tipis, seakan tak mengundang aku ke mejanya.
“Sudah makan?”
“Sudah.”
Mendengar jawabannya yang singkat, aku terdiam. Dia tidak menungguku.
“Tadi makan apa?”
“Ayam kremes.”
“Beli sendiri?”
“Iya. Sendiri.”
Sesingkat itulah jawabannya. Ada sesuatu yang berbeda. Aku mencoba membuka percakapan, mencoba mencari kesalahanku sehingga sikapnya tak seramah kemarin.
Ketika kehabisan bahan percakapan, aku kelaparan; sangat lapar. Aku sengaja tak sarapan sejak pagi agar bisa makan bersamanya. Aku tak bisa terlalu kenyang. Itulah yang kulakukan hampir setiap hari, tidak sarapan agar saat makan siang aku bisa menyantap ayam kremes bersamanya. Aku selalu ingin duduk di sampingnya. Sembari menghilangkan rasa lapar, aku pamit membeli ayam kremes di tempat biasa. Ia mengangguk lemah.
Sepiring ayam kremes dan segelas es teh sudah ada di tanganku. Aku berjalan pelan-pelan mendekati meja. Ia seakan tak ingin menatapku. Aku segera duduk di sampingnya, memakan ayam kremes sendirian. Baru kali itu, aku makan tanpa menyentuh lengannya. Dulu, setiap makan ayam kremes, lengan kami bisa bersentuhan.
Ada celah yang memisahkan tempat duduk kami.
Kami berjarak.
Aku sedang sibuk-sibuknya mengarahkan sendok dan garpu di piringku, sampai pada akhirnya seseorang dengan wangi parfum menyengat duduk di sampingku, juga di dekat pria yang kucintai sejak dulu.
Mataku tajam tertuju pada wanita itu. Aku mengamatinya dari ujung kaki sampai tempurung kepalanya. Wanita itu menyentuh lembut rambut pria yang kucintai. Sungguh hebat! Bahkan aku tak pernah bisa menyentuh rambutnya. Aku hanya bisa melakukan hal yang menurutku manis; makan ayam kremes bersamanya.
“Sayang, udah lama ya nunggunya?” wanita itu mulai membuka suara, belaiannya kini menyentuh bahu pria yang kucintai.
Menatap pemandangan itu, aku tak bisa berbuat banyak. Aku sudah mulai menebak-nebak.
“Eh, Shena, ini pacar gue.” dengan senyum bangga, ia mengenalnya pacarnya padaku.
Aku mengulurkan tangan, mencoba memasang senyum paling manis meskipun kala itu hatiku sebenarnya teriris. Wanita itu menatapku dengan tatapan yang menyebalkan, rasanya aku ingin menepis fakta yang sesungguhnya sudah ada di depan mata.
Selama ini, aku hanya sekadar teman makannya, bukan teman hidupnya. Aku yang tolol, terlalu banyak berharap.
Mereka sibuk berbicara berdua. Aku sendirian memakan ayam kremesku. Ayam kremes yang dulu terasa menyenangkan di lidahku sekarang terasa sangat hambar. Pria itu mengubah rasa ayam kremes di lidahku seperti makanan tanpa garam yang sungguh tidak mengundang selera.
Dan, akhirnya perasaanku memang ditakdirkan untuk tertahan, tanpa diungkapkan.
Aku bersumpah tidak akan lagi makan ayam kremes setelah ini.
Tidak.

03 March 2013

Jangan bilang rindu!


Aku menulis ini bersama rasa sakit yang tidak benar-benar kamu pahami. Aku menatap laptopku dengan wajah masam, berujung pada perasaan yang tidak berhasil kautebak. Mengertikah kamu, perjuanganku juga butuh kepedulianmu?

Entah karena kauterlalu bodoh untuk menilai atau terlalu egois untuk memaklumi. Aku mencoba sabar, mencoba sabar menghadapimu. Aku berusaha bertahan, berusaha mempertahankan yang harusnya aku lepaskan. Aku sudah menunggu sangat lama, mengharap pengertianmu menderas ke arahku. Tapi, hal itu tak kunjung kutemui. Kamu masih begitu, dengan omonganmu, dengan tingkahmu yang tak berubah.

Apakah kesabaran dan perjuangan yang kulakukan benar-benar tak terlihat di matamu? Kaumengetahui segalanya kan? Mengapa hanya diam dan bisumu yang selalu kudapati di hari-hari kebersamaan kita?

Aku ketakutan dan kedinginan sendirian. Kamu tak pernah ada di sini saat aku butuhkan. Aku juga tak paham lagi, pantaskah kebersamaan kita terus aku perjuangkan? Pantaskah sosokmu selalu kupertahankan? Jika yang kudapatkan hanya pengabaian, ketidakpedulian dan kebohongan; bagian manakah yang bisa memberi kebahagiaan?

Kamu jauh di sana, tak banyak yang kaulakukan selain mengirim pesan singkat atau menyapaku dari ujung telepon. Tak banyak yang bisa kita lakukan selain saling merindukan. Rasa perih itu semakin membesar, membentuk luka yang mungkin sulit sembuh. Semakin sering aku tak melihatmu, ketakutanku di sini semakin menebal.

Perlukah aku membandingkan kamu dengan pria-pria lain yang lebih pandai meluangkan waktunya untukku, daripada sedikit waktu yang kauluangkan untukku? Kamu tak pernah peduli pada sakitku, perihku, dan sedihku. Kaubiarkan aku menyelesaikan segalanya sendirian. Inikah wujud kepedulian yang selalu kauributkan denganku? Mana kepedulianmu? Mana kehadiranmu? Kosong!

Jangan bilang rindu, jika kautak bisa ke sini untuk buktikan perasaanmu.