31 October 2012

Tertinggal



            Aku memeluknya rapat sekali. Tak sejengkal pun tubuh kami menjauh. Embusan napasnya terdengar hangat di telingaku, menelusup masuk ke dalam dadaku. Ia menerima pelukanku dengan ikhlas, tak bergerak banyak, hanya diam. Pejaman matanya sesekali terbuka, memandangku dengan tatapan lembut dan teduh. Mata itulah yang berkali-kali menghipnotisku, setiap kali aku memandanginya. Tatapan yang tak jemu-jemu kunikmati, sebelum waktu memisahkan kita nanti.
            "Dingin." desahnya pelan.
            Aku beraksi, kueratkan pelukanku. "Masih dingin?"
            "Tidak. Terima kasih."
            Senyumnya selalu begitu. Senyum yang lebih manis, dan semakin manis jika kupandangi terus-menerus. Jemariku menyentuh rambutnya yang hitam, dan semakin hitam karena pemandangan di luar jalan juga menggelap.
            Aku mengintip ke luar jendela, lampu jalanan yang terlihat remang-remang tak membantuku mengetahui keberadaanku saat ini. "Masih lamakah kita sampai?"
            "Sebentar lagi, sudah tiga jam bus ini melaju."
            "Cepat sekali rasanya, apa karena malam ini kulewati bersamamu?"
            Ia tertawa kecil, mendekatkan bibirnya ke bibirku, lalu sekejap; jantungku berdegup kencang. Ia menciumiku, dan aku hanya bisa diam. Sungguh, aku merasa bodoh dan seperti anak kecil. Padahal, bukan ciuman pertama, tapi gerakan bibirnya sungguh berbeda dari bibir siapapun yang pernah kucium. Aku mengedip-ngedipkan mata, telapak tangannya menutupi mataku... dia kembali mengecupku.
            Menit-menit yang berlalu dengan sangat manis, sungguh tak ingin kutukar dengan kebahagiaan lain yang mungkin lebih menjanjikan. Dia, yang begitu sederhana, benar-benar menjadikanku sempurna. Sempurna sebagai pria. Sempurna sebagai manusia.
            Aku membiarkan puluhan pesan singkat menggetarkan handphoneku. Kubiarkan juga puluhan panggilan yang menganggu. Aku masih menikmati bibirnya menjalari bibirku. Tak peduli pada bus aeroline yang perlahan-lahan merayap meninggalkan Singapore.
***
            Manusia tak pernah merencanakan pertemuan, karena itu tugas Tuhan. Manusia hanya tahu menerima, menjalani, lalu memaknai yang telah terjadi. Menganggap segalanya hanya kebetulan sebagai alasan untuk mengakhiri yang terlarang.
            Saat ia menggenggam tanganku, meliak-liuk di antara kedai makanan khas Arab; aku tak mampu lagi mengelak. Aku mencintainya, meskipun pertemuan kami baru terjadi dua hari ini. Aku dan dia bisa begitu dekat dalam waktu singkat, entah karena alasan apa, tiba-tiba aku merasakan ada sesuatu yang berbeda dalam dirinya, bisa dibilang jatuh cinta, alasan absurd.   
            Neza, wanita yang mengenggam tanganku kali ini bukan wanita murahan, mungkin apa yang ia rasakan sama dengan yang aku rasakan, aku dan dia sama-sama tak mampu menolak. Walaupun kami belum saling tahu latar belakang, kami hanya tahu status. Aku membayarnya untuk tour singkat ini, dia pemandu wisata, harusnya. Tapi, ternyata, semua bergerak melebihi yang kuduga, ia lebih dari seorang pemandu wisata.
            "Capek?"
            Aku mengangguk.
            "Mau pulang ke hotel atau kita jalan-jalan ke Putrajaya saja? Sekadar melihat-lihat pusat pemerintahan Malaysia."
            "Pulang ke hotel sajalah."
            "Lho, kenapa?"
            "Aku ingin lebih lama memelukmu."
            "Halah, gombal!"
            "Sebelum waktu benar-benar memisahkan kita, Neza."
            "Tidak ada kata pisah, perpisahan antara kita hanya sementara kan?"
            Aku mengangguk berat, aku tak mampu berjanji, takut nanti malah menyakiti.
            "Bagus! Sekarang kita mau ke mana?"
            "Kausaja yang tentukan."
            "Lho, kausaja yang tentukan, kaumembayar aku kan."
            "Aku ingin ke hotel, melanjutkan pelukan yang tidak selesai."
            "Kamu ingin menyelesaikan pelukan?"
            "Iya."
            "Kenapa harus diselesaikan? Biarkan saja menunggu, aku tak ingin ada yang selesai di antara kita. Masih terlalu singkat. Baru beberapa hari."
            "Aku memang hanya beberapa hari di sini."
            Neza, yang senyumnya memesona kini terlihat muram. "Iya, hanya beberapa hari, tapi... kamu akan kembali?"
            Aku terdiam.
            "Oh, yasudah. Tidak perlu dijawab. Datang dan pergi itu hal yang biasa. Kabari saja kalau kamu ke sini lagi, akan kutemani kamu."
            "Kenapa hati yang terbaik justru harus tertinggal?"
            "Mungkin, belum saatnya untuk ditemukan. Sesuatu yang hilang akan kembali dengan cara dan waktunya sendiri."
            Neza menarikku, membawa aku masuk dalam pelukannya. Dan, matahari di langit Malaysia, tak terasa panas ketika kurasakan keteduhan dalam tubuhku.
***
            Aku melirik jam. Dia belum muncul juga. Kuteguk air minum berkali-kali, dahaga sudah menggumuli tubuhku sejak tadi. Dalam keadaan seperti ini, aku teringat wajah Neza.   
            Pelukannya, senyumannya, keteduhannya; benar-benar tak bisa dijelaskan lagi oleh kata-kata. Ia terlalu sempurna sehingga kata-kata takut menggambarkan pesonanya.
            Pikiranku masih terpenuhi oleh Neza. Bahkan, saat suara yang tak asing bagiku, memanggil lantang namaku.
            "Dion!"
            Wanita itu berlari terengah-engah dengan wajah sumringah.
            Istriku.

22 October 2012

Perbedaan dan Air Mata






Matanya mengawasi saya sejak tadi, sejak saya mengetik dan menyeruput kopi. Dia terus bercerita, minta didengarkan, melihat sikap saya yang terus mengutak-atik laptop, Diana jadi kesal sendiri. Upss, saya mulai berani sebutkan namanya. Atas izin Diana, saya boleh menulis namanya. Wanita ini memang selalu di luar dugaan saya.  Wanita ini, dengan kerlingan matanya yang tajam sudah menyoroti saya. Dia juga tertawa terbahak-bahak ketika kisahnya tentang #CintaTapiBeda dilihat oleh puluhan ribu pasang mata. Aneh, mengapa dia begitu senang ketika kisah nyatanya saya tulis di blog pribadi saya? Saya kira dia akan marah, malu, kemudian membenci saya karena saya menulis posting-an blog berdasarkan kisah nyatanya.

Diana malah berterimakasih dengan mata berbinar, melihat komentar di bawah tulisan tersebut. Ia terharu karena kisahnya menginspirasi banyak orang agar menghargai dan menghormati perbedaan. Karena di luar sana, kadang kita tak tahu; bahwa perbedaan mampu menyakitkan bagi seseorang. Begitu juga bagi Diana, begitu juga bagi kekasihnya, Cahyo.

Mereka, seperti yang saya tuliskan kemarin, adalah pasangan beda agama. Diana, teman saya, seorang Khatolik sejati. Cahyo, kekasihnya, seorang Muslim. Berbeda dan berbenturan. Tapi, apakah karena perbedaan mereka dilarang jatuh cinta? Iya. Pasti. Tentu saja. Juga oleh kedua orangtua mereka.

Norma dan pandangan masyarakat tak mau tahu apa itu cinta, perasaan, juga pertemuan yang terjadi atas izin Tuhan. Diana dan Cahyo tak pernah bersungut-sungut pada Tuhan agar mereka dipertemukan lalu jatuh cinta. Tapi, mereka benar-benar bertemu, merasa nyaman, dan akhirnya bisa mendefinisikan arti cinta yang sesungguhnya; walaupun segalanya jadi tak mudah. Jujur, kisah mereka adalah kisah yang indah, bukan kisah-kisah manja, murahan, dan cinta-cintaan yang buang-buang waktu. Betapa indahnya pertemuan antara manusia dengan manusia, tanpa memikirkan segala atribut sosial yang mengekang kemanusiannya; agama.

Dalam kebahagiaan, kadang terselip tangisan. Dalam doa panjang untuk Tuhan, kadang terselip permintaan yang mungkin saja enggan Tuhan dengarkan. Tuhan yang mana yang sedang mendengarkan doamu? Tuhan yang menciptakan hujan? Tuhan yang menciptakan tulang rusuk untuk seorang pria? Tuhan yang menciptakan agama? Tuhan mencipta agama? Lucu.

Agama. Agama. Agama. Cinta. Cinta. Cinta. Tuhan. Hantu. Tuhan. Saya sedang sedikit emosional dan terbawa oleh ceritanya. Ketika semua orang, yang tahu kisah Diana dan Cahyo menganggap mereka pasangan “kutukan”. Begini, mereka hanya jatuh cinta, dan memperjuangkan yang bagi mereka harus diperjuangkan; apa salah mereka hingga banyak orang menilai mereka seperti sampah?

Apalagi, kedua orangtua. Memang, orangtua selalu inginkan yang terbaik bagi anaknya, bagi keturunannya, tapi terlalu menyakitkan bagi Diana dan Cahyo jika mereka harus berpisah hanya karena berbeda. Apakah tak ada jalan lain untuk menyatukan? Apakah orang-orang sekitar tak lagi peduli dengan perasaan dan perbedaan?

Memang, Diana dan Cahyo berbeda, tapi... APA SALAHNYA? Tidak dapat dipungkiri memang, orangtua juga ingin memiliki keluarga baru yang memiliki kesamaan dengan beliau-beliau. Manusia selalu takut dengan perbedaan, mereka selalu nyaman dengan hal yang terlihat sama di mata mereka. Padahal, berbeda belum tentu salah, dan punya kesamaan belum tentu benar. Seharusnya perbedaan ada bukan untuk disalahkan, dihakimi, lalu dianggap seakan-akan ada. Bukankah perbedaan harusnya jadi “sarana” untuk mengenal dan saling melengkapi?

Cinta milik Diana dan Cahyo memang terjadi begitu saja, tanpa sutradara, karena bukan drama. Diana mencintai Tuhan, begitu juga dengan Cahyo; walaupun mereka beribadah di tempat yang berbeda. Salahkah mereka?

Apakah perbedaan yang Tuhan ciptakan hanya akan jadi penghalang?

Dalam dingin yang menusuk-nusuk tulang
Saya tak lagi paham
Apakah cinta dan agama tak layak disatukan?

16 October 2012

Beda Cinta, Setipis Keyakinan

Saya mengingat lagi cerita teman saya. Baru beberapa hari saya temui dia di cafe, di bilangan Depok, Jawa Barat. Jujur, pikiran saya masih terbebani oleh cerita yang ia ungkapan. Tentang hubungannya, tentang kekasihnya, yang jauh dari kata normal. Iya, mereka berbeda, tidak sama seperti orang lainnya.

Ketika dia bercerita dengan menggunakan air mata, saya tahu bahwa beban yang ia pikul sangatlah berat. Air mata yang saya lihat hari Rabu kemarin adalah luapan emosinya yang sempat tertahan. Saya bisa rasakan sakit yang memukul-mukul perasaannya. Tapi, dalam duka, masih terselip kebahagiaan yang mampu ia ceritakan pada saya, walau dengan suara tertatih, walau dalam halaan napas lirih.

Jatuh cinta adalah dua kata yang sulit dijelaskan. Tidak terdefinisikan. Soal hati, kata-kata seakan tak ahli untuk memaparkan juga mendeskripsikan. Saya tidak akan berbicara tentang cinta, juga tentang mimpi omong kosong yang diciptakan saat hadirnya cinta. Ini semua soal kenyataan, soal dunia yang begitu klise. Agama.

Air mata memang sia-sia,  karena yang dibutuhkan di sini adalah kedewasaan. Semua berawal manis dan indah. Teman saya, awalnya memang bercerita dengan senyum sumringah. Ia berkenalan dengan seorang pria, secara tidak sengaja. Tentu saja, kita seringkali menganggap banyak hal terjadi karena kebetulan. Kebetulan mungkin adalah rencana Tuhan yang belum benar-benar kita pahami.

Tatapan mereka saling beradu, hanya senyum dan tawa yang tercipta kala itu. Teman saya, wanita beragama Khatolik tersebut, baru selesai pentas tari. Lalu, dunia berkonspirasi, mempertemukan dia dengan seorang pria, yang membuat hatinya merasa nyaman. Pria yang tiba-tiba merangsuk masuk dalam ingatan dan jengkal napasnya.

Indah memang, cinta mengubah segala yang hitam putih menjadi warna-warni. Tumpukan kebahagiaan semakin sempurna, ketika perkenalan teman saya dan pria itu berlangsung ke tahap yang lebih dalam, lebih dekat.

Segalanya terasa manis, walaupun juga terasa asing. Rasa nyaman itu kini berangsur berubah menjadi rasa takut kehilangan. Mereka berusaha untuk saling melindungi satu sama lain. Mungkin, ketika salib berada dalam genggaman tangan teman saya, dan ketika tasbih berada dalam genggaman pria itu; dengan air mata, mereka saling mendoakan.

Saya bisa rasakan kehangatan mereka. Sangat hangat. Sangat dekat. Saya iri, mengingat hubungan saya yang lebih dulu kandas termakan perpisahan. Saya dan pria di masa lalu tersebut tidak sekuat dan setegar teman saya. Oh, jadi curhat. Sungguh, saya benci membahas masa yang tak ingin saya ingat lagi. Teman saya dan kekasihnya masih terus mempertahankan walau mereka berbeda. Perbedaan keyakinan bukan alasan untuk tidak saling jatuh cinta.

Inilah yang membuat saya semakin terharu, teman saya menunggu kekasihnya salat di masjid. Ia menunggu dengan sangat sabar meskipun lirikan mata yang tajam tertuju padanya.

Dalam perbedaan, mereka saling menguatkan. Keindahan mereka sampai pada kelopak mata saya. Saya tak tahu harus berkomentar apa. Terharu? Prihatin? Sinis?

Hey, mereka berbeda dari pasangan yang lainnya. Mereka bukan pasangan bermanja-manja yang mabuk kepayang akan cinta, saling bergelayut mesra dalam pelukan. Sampah. Pacaran model cinta monyet. Teman saya dan kekasihnya sungguh berbeda, mereka punya kebahagiaan yang tak dimengerti banyak orang. Kebahagiaan yang belum tentu bisa dirasakan oleh banyak orang yang sibuk menghakimi hubungan mereka.

Apa yang membuat dua orang saling memperjuangkan jika bukan karena cinta?

14 October 2012

Dalam Jarak Sejauh Ini

Apa yang menyenangkan dalam jarak sejauh ini? Aku tak bisa menatapmu dan jemariku tak bisa menyentuh lekukan wajahmu. Apa yang bisa kita harapkan dari jarak ratusan kilometer yang memisahkan kita? Ketika rasa rindu menggebu, dan kutahu kautak ada di sisiku. Sejauh ini kita masih bertahan, entah mempertahankan apa. Karena yang kurasa sekarang, cintamu tak lagi nyata; selebihnya bayang-bayang.

Dalam jarak sejauh ini, mungkinkah kita masih saling mendoakan? Seperti saat kita dulu masih berdekatan. Aku tak lagi paham saat-saat dingin mencekam, kamu tak duduk di sampingku, juga tak mendekapmu dengan hangat. Aku tak lagi mengerti, saat air mataku terjatuh, hanya ada tanganku (bukan tanganku) yang menghapus basah di pipiku. Jelaskan padaku, apa yang selama ini membuatku masih ingin bertahan?

Aku hanya bisa menatap fotomu. Diam-diam merapal namamu dalam doa. Mendengar suaramu dari ujung telepon. Kulakukan semua seakan baik-baik saja, seakan aku tak terluka, seakan tak ada air mata; aku begitu meyakinkanmu, bahwa tak ada yang salah di antara kita. Dan, apakah di sana kaumemang baik-baik saja? Apakah rindu yang kita simpan dalam-dalam akan menemukan titik temu?

Sayang, aku lelah.

Pulanglah.

10 October 2012

Salahkah jika Melipat Tangan dan Menengadahkan Tangan Bersatu?

Setiap bertemu dengan saya, dia banyak diam. Dia hanya bercerita tentang karier menarinya yang cukup mengagumkan. Hal yang selama ini ia perjuangkan terlihat mulai membuahkan hasil. Kelurga, waktu, usaha, dan tenaga telah ia korbankan untuk mimpinya; menari di atas panggung.

Ini pertemuan saya yang terjadi secara kebetulan, kami bertemu di Margocity, Depok, Jawa Barat. Dia tidak bersama kekasihnya, saya bertanya-tanya. Adakah sesuatu yang salah? Melihat kejanggalan tersebut, saya banyak diam. Namun, ia mengajak saya sekadar ngopi dan ngobrol, saya tak mampu menolak, kami sudah tidak saling bertukar kabar beberapa minggu ini.

Topik utama masih tentang kuliah saya sebagai mahasiswa baru dan ia bercerita tentang kariernya yang mulai bersinar. Saya ikut bangga punya teman yang memperjuangkan mimpinya dengan sangat berani dan nekat. Namun, air wajahnya berubah ketika ia bercerita tentang kekasihnya, yang memanggil nama Tuhan dengan sebutan berbeda. 

Mungkin, inilah definisi menyakitkan yang sesungguhnya. Saya sendiri tak mampu mendeskripsikan rasa sakit dalam rangkaian kata, karena perasaan itu benar-benar dirasakan oleh hati, sedangkan apa yang dirasakan hati begitu sulit disentuh oleh logika kata dan kalimat. Dan, kata menyakitkan itu berasal dari kesulitan untuk menyatukan dua orang yang beribadah di tempat yang berbeda. Menangkap maksud saya? Absurd, abnormal, sulit dipecahkan, inilah yang muncul dalam benak saya ketika ia kembali bercerita tentang hubungannya yang berbeda, yang penuh perjuangan dan peluh.

Saya paham, ketika dia harus berkali-kali menghela napas ketika bercerita tentang beban yang memberatkan langkahnya selama ini. Saya juga mengerti ketika matanya mulai berkaca-kaca setiap kali nama pria itu disebutkan olehnya. Saya juga memaklumi jika ia harus mengangkat wajahnya berkali-kali, menahan matanya yang berair agar tetap terlihat kuat dan tegar. Kedewasaannya sungguh diuji, ia berusaha terlihat sangat tegar dan sangat kuat di hadapan saya. Mungkin, dia sangat memercayai saya, karena saya pernah mengalami hal serupa, walaupun pada akhirnya saya juga terluka.

Dia terus bercerita, semakin banyak ia bercerita semakin saya memahami isi hatinya. Ada sesuatu yang ia perjuangkan di sini, agak ironis dan klise jika saya katakan, dan sangat munafik jika saya menyembunyikan apa yang saya tangkap. Iya, dia memperjuangkan; cinta.

Kamu tertawa, jelas. Cinta, di mata beberapa orang hanyalah omong kosong yang jauh dari kata nyata. Beberapa orang beranggapan bahwa cinta bukanlah hal yang harus benar-benar diperjuangkan. Makanya, cinta bisa terpisah karena perbedaan. Suku, ras, status sosial, dan lebih menyakitkan lagi jika berpisah karena agama. Hanya karena teman saya melipat tangan dan kekasihnya menengadahkan tangan, berarti mereka dilarang untuk saling jatuh cinta?

Hal ini sungguh menganggu pikiran saya. Mungkin, saya terlalu perasa, hingga saya tak pernah tahan melihat seseorang terluka bukan karena sakit yang ia buat sendiri. Iya, saya begitu yakin, sakit dan air mata yang ia rasakan bukanlah sakit yang ia buat sendiri. Saya percaya dia dan kekasihnya saling jatuh cinta, mereka saling menjaga dan tidak mungkin saling menyakiti. Tapi, keadaan, orang-orang sekitar, juga orang lain yang bahkan tak terlalu mengenal mereka telah menciptakan pandangan yang salah. Pandangan yang memojokan teman saya dan kekasihnya. Mereka memang berbeda, salib dan tasbih, tapi bisakah dunia berhenti menyakiti mereka? 

Ketika pembicaraan berakhir, saya tidak memberi solusi apa-apa. Apa yang bisa saya berikan? Saya hanya mampu menyediakan telinga, juga hanya mampu menepuk pundaknya berkali-kali, berkata "sabar" tanpa henti. Saya sendiri benci dengan tindakan saya selama ini, saya banyak diam dan membiarkan teman saya dalam kesedihannya sendiri. 

Tuhan, agama, dan norma, begitu klise dalam kacamata saya. Segalanya begitu kompleks, sampai-sampai saya tak paham lagi, apakah Tuhan yang begitu suci dan agung pantas diterka-terka isi hatiNya oleh manusia?

08 October 2012

Cinta Bangku Belakang (end)



 Cerita sebelumnya: Cinta Bangku Belakang

           Aku selalu datang paling pagi, mengincar bangku depan, aku tak ingin ketinggalan pelajaran yang menggiurkan. Aku duduk sendirian, kelas masih sepi, mungkin teman-temanku masih sibuk dalam dunia mimpi. Aku membuka buku pelajaran, membolak-balik setiap halaman. Terlalu rajin.
            Tatapanku menyentuh jendela. Mendung. Sayang sekali kalau sampai hujan, hujan membuat setiap orang merasa ngantuk, berbeda situasi jika ada seseorang yang dipeluk. Tapi, siapa yang mau berpelukan di tengah pelajaran? Aku yakin teman-temanku masih waras, aku pun juga begitu.
            Heran sudah jam segini, yang datang hanya segelitir orang, dihitung dengan jaripun masih bisa. Kemana teman-temanku? Jadi, mendung tak tahan untuk menangis, manja sekali. Hujan.
            Kelas sepi, banyak yang datang terlambat. Pengajar sudah masuk yang lainnya masih tergopoh-gopoh dengan baju yang kebasahan, kehujanan. Pria itu, yang kutunggu-tunggu, juga datang terlambat. Seperti biasanya, ia duduk di bangku belakang.
            Mata kami tadi sempat bertemu, hanya beberapa detik, lalu saling melepaskan. Seakan-akan tak terjadi apa-apa kemarin sore. Seakan-akan tak ada peristiwa penting yang terjadi saat hujan kemarin. Apakah semua pria seperti itu? Selalu mudah lupa dan mudah menganggap segalanya tak penting?
            Aku menghela napas, seharusnya dia memang tak penting, dan aku juga tak perlu memikirkannya. Tapi, sejak peristiwa kemarin, entah mengapa dia tak berhenti menghampiri otakku. Aku tak bisa melupakan tatapannya yang asing kala itu. Betapa manisnya dia saat memberikan jaketnya untuk menghangatkan tubuhku. Matanya, hidungnya, bibirnya, dan suara lembutnya berotasi dalam pikiranku.
            Sialan! Keluhku kesal, dalam hati. Mengapa dia berbeda? Mengapa dia tak semanis kemarin? Mengapa dia tak sehangat dan seramah saat bersamaku... saat kita hanya berdua.
            Pria yang kulihat saat ini, yang sedang diam-diam kuperhatikan, adalah pria yang berbeda, bukan pria manis yang mengejutkanku dengan sentuhan bibirnya. Sungguh berbeda, aku tak melihat sosok manis itu dalam dirinya saat ini. Mengapa segalanya berubah dalam hitungan jam?
            Aku jadi tak bersemangat memerhatikan pengajar, juga tak bersemangat mencatat. Aku ingin jawaban dari semua rasa penasaranku. Pria itu... bahkan dia tak menatapku. Dan, aku? Hey, aku menemukan diriku yang berbeda, kali ini aku menyerongkan posisi dudukku, diam-diam menatap ke arah belakang, berharap wajah itu setidaknya menatapku dengan tatapannya yang polos dan lugu seperti kemarin.
            Sekarang, aku juga berbeda. Aku semakin heran karena  perhatianku tiba-tiba terenggut oleh sosok yang tak kukenal. Masih tentang pria itu, pria yang tak kukenal namanya. Aku bahkan tak peduli pada detak jam dinding, juga waktu yang bergulir cepat ketika aku menikmati wajahnya, memerhatikan belahan bibirnya yang kemarin sore kurasakan.
            Sungguh, dia sangat memabukkan.
            Kali ini, pandanganku menjalar menyentuh rambutnya yang hitam. Tak terlalu rapi memang, tapi bagiku potongan rambutnya membuat dia terlihat lebih tampan dan sederhana. Rahangnya menambah kesan angkuh; angkuh yang eksklusif. Ya, maksudku, dia nampak seperti pria yang sulit ditaklukan. Hidungnya yang tak terlalu mancung memang menambah kesan menyenangkan ketika ia mendesahkan napasnya pelan. Bibirnya, sudah kujelaskan, dan bisa merasakan bibirnya memang hal yang sangat mendebarkan, seperti kemarin sore.
            Keindahan apa lagi yang belum kujelaskan tentang dirinya? Lehernya yang jenjang memang kadang ia sembunyikan. Dadanya yang bidang membuat semua wanita ingin bersandar hangat dalam peluknya. Oh, Tuhan, mahluk macam apa yang Kauizinkan untuk menggodaku kali ini?
            Sudahlah, aku memutuskan untuk melepaskan pandanganku dari sosoknya. Toh, dia makin cuek, dia juga tak mau menatapku. Dia sudah menjadi mahluk paling berbeda meskipun baru puluhan jam yang lalu kami melewati waktu bersama.
            Pengajar sudah meninggalkan kelas, aku merapikan bukuku di meja. Teman-temanku yang lain sudah lebih dulu keluar, ingin segera pulang dan bermalas-malasan. Udara dingin yang mencekam seperti ini memaksa mata selalu ingin terpejam, dan tubuh selalu rindu kasur.
            Kelas sudah sepi, aku sudah siap meninggalkan kelas. Aku berdiri dari bangku yang kududuki, namun tubuhku terhempas lagi. Jemari yang tak begitu asing meremas bahuku; hingga aku kembali terduduk.
            “Buru-buru ya, Sera?” sergah pria itu santai, kali ini ia duduk di sampingku. “Di luar hujan.”
            “Oh, ya? Aku tidak peduli, aku ingin segera meninggalkan kelas ini.”
            “Sera....”
            “Apa?!”
            “Kok sinis?”
            “Mau yang manis? Romantis? Cih!”
            “Lho, kamu marah?”
            “Tidak.”
            “Sungguh?”
            “Bukan urusanmu! Sok misterius!”
            “Kamu tidak tersenyum.”
            “Aku hanya tersenyum pada orang yang menurutku penting.”
            “Sejak peristiwa kemarin sore, aku belum juga jadi seseorang yang penting bagimu?”
            Aku terdiam.
            “Sera, kok diam?”
            “Aku tidak paham dengan perlakuanmu tadi, kamu diam, tidak menatapku, tidak menyapaku, tidak melirik ke arahku... tidak sehangat kemarin.”
            “Aku kira kamu marah.” jawab pria itu setengah berbisik, lengannya menyentuh lenganku. “Ketahuilah, Sera. Kadang, pria memang tak perlu menunjukkan perasaannya.”
            “Semua pria gengsi. Gengsi gede-gedean!”
            “Kamu berarti belum paham.”
            “Apa yang harus kupahami? Aku sudah cukup lelah dengan pelajaran hari ini, aku tak ingin memenuhi otakku lagi dengan pemahaman-pemahaman aneh.”
            “Kamu lelah karena pelajaran?”
            “Tentu saja.”
            “Padahal, selama pelajaran, kamu sibuk menatapku.”
            Deg. Bibirku terkunci. Kelu.
            “Tatapanmu yang tajam, mendelik, namun menggoda itu bisa kurasakan, Sera.”
            “Jadi, kamu juga memerhatikanku?”
            Ia mengangguk pelan.
            “Lalu, kenapa tidak balas menatapku?”
            “Tatapan tak harus dibalas dengan tatapan.”
            Pria bersorot mata hangat itu mendekat, ketika tubuhnya bergerak cepat, aku tak bisa lagi mengelak.
            Ia memelukku. Tak pernah aku merasa sehangat itu.
            “Aku Ravinto. Mohon diingat. Pentingkan aku dalam ingatanmu.”
            Aku mengangguk pelan. Sentuhannya tak pernah kuduga.
            Dia berbeda.