02 February 2012

Agamamu. Agamaku. Satukan Kita?

Kelas Biologi, 2 Februari 2012

Semalam suaramu mengalir begitu lembut melalui sambungan telephone. Entah sudah berapa minggu kita tak bertemu. Entah sudah berapa hari aku dan kamu (terpaksa) tak saling memandang dan menatap. Karena takdir sedang mainkan perannya, karena nasib teguhkan langkah kakinya. Aku dan kamu tak bisa apa-apa, terutama saat semua orang menganggap kita salah. Terutama saat aku dan kamu dianggap sebagai pelanggar norma agama, saat kita layaknya tahanan cinta yang menyerah pada hukum agama. Terang tak dapat bersatu dengan gelap.

Kauingin tahu satu hal tentangku? Aku sangat merindukan kamu. Aku rindu saat kamu menungguku di depan gereja seusai misa pagi. Aku rindu saat kita makan mie ayam kesukaan kita. Aku rindu saat menunggumu selesai salat Jumat. Kamu semakin terlihat tampan ketika air wudhu membasuh lembut wajahmu, aku sangat suka senyummu yang tersimpul malu di balik bibirmu. Sungguh, aku sangat rindu pertemuan kita, aku rindu menghabiskan waktu bersamamu. Dan... Entah mengapa kebahagiaan itu menjadi tampak semakin pudar akibat orang-orang yang bahkan tak mengenal dan mengerti kondisi kita. Maukah kaukatakan pada mereka yang membenci kita? Bahwa sebenarnya kita bukanlah seorang pendosa. Maukah kauyakinkan mereka? Bahwa aku dan kamu tak sehina yang mereka pikirkan. Haruskah kita mengakhiri semua ketika nyatanya bahagia selalu menghiasi kebersamaan kita? Haruskah kita menyerah pada persepsi yang mengatakan bahwa kita bersalah? Haruskah kita berpisah karena berbeda agama? Apa salahku dan salahmu?

Aku mengenalmu sebagai sosok yang sangat gigih. Kamu juga mengenalku sebagai sosok yang tegar. Selama kita bersama, tidak pernah terlihat air mata kita jatuh setitikpun. Tapi... Ternyata pada akhirnya kita menyerah, menyerah pada takdir yang awalnya mempertemukan kita juga yang memisahkan kita. Apakah hatimu patah? Apakah sayap-sayapmu yang dulu sempat memelukku juga patah? Apakah ada tangis yang luruh dari matamu yang indah? Aku tak tahu mengapa norma agama harus membedakan kita, sehingga aku dan kamu memiliki sekat dan jarak, membuat kita terlihat tak lagi sama, membuat kita (terpaksa) berpisah. Sebenarnya, apa salahku dan salahmu? Kita tidak pamer kemesraan seperti pasangan-pasangan tolol lainnya, kita juga tak membuat video mesum sebagai sebab terjadinya zinah, kita tak melanggar norma asusila, tapi mengapa di mata semua orang kita terlihat seperti sampah?

Sayang, sungguh aku tak ingin terus tersiksa seperti ini, sungguh aku tak ingin perpisahan kita menjadi sebab tangismu dan tangisku. Aku ingin semua kembali seperti dulu. Aku ingin tawa renyahmu dan senyum manismu menghiasi mozaik hari-hariku. Kebahagiaan kita terenggut oleh sesuatu yang kita sebut norma, sesuatu yang seharusnya mengatur tapi malah menyakiti kita. Sebenarnya, mereka yang menyalahkan kita adalah mereka yang tak benar-benar mengenal kita. Tugas cinta adalah menyatukan, lalu salahkah cinta jika dia menyatukan kita yang berbeda? Bukankah kita hanya saling jatuh cinta? Bukankah kita hanya mahluk kecintaan Tuhan yang belajar untuk menyentuh cinta? Apa yang salah, Sayang?! Katakan apa yang salah!

Aku menulis surat ini sesaat sebelum pengakuan dosa. Pastor sudah berada di dalam ruangan, aku masih di luar, sedang menormalkan frekuensi detak jantungku yang kian menit kian tak berirama. Dengan menulis ini, mungkin aku bisa merasa sedikit tenang. Aku mungkin akan bercerita banyak pada pastor, air mataku mungkin akan kembali menetes, dan berkali-kali mungkin aku akan mengulang cerita yang sama, cerita tentangmu. Di dalam ruang pengakuan dosa, aku pasti mengakui banyak dosa yang telah kulakukan. Dan... Mungkin dosa yang kuakui pertama kali adalah mencintaimu. Mencintaimu... Dosa termanis bagiku.

Dari masa lalumu
Rumah untuk tawa dan tangismu

01 February 2012

Jalan Pulang Untuk Rindu

Langit Kelabu di sinar mataku, 1 Februari 2012

Untukmu, yang mungkin telah melupakan aku

Surat ini khusus kualamatkan ke rumah hatimu, tempat yang pernah kukunjungi tapi tak pernah kutahu alamat detail dan daerah spesifiknya. Entah mengapa, saat menulis ini, aku ingat kali pertama pertemuan itu terjadi. Aku ingat betul detail kalimat yang kauucapkan sehangat desah angin di Stadion Mandala Krida, Yogyakarta. Aku tak melupakan peristiwa-peristiwa yang terjadi di antara kita. Dan... Aku selalu ingat bagaimana caramu dan caraku untuk menikmati detik yang berganti menjadi menit. Bagaimana usahaku dan usahamu untuk menghargai menit yang berganti menjadi jam. Nyatanya, aku belum benar-benar membuang semua tentangmu dari otakku.

Kepada kamu, pria berambut panjang... sepanjang pinggang

Es kelapa muda yang kausesap perlahan tak memunculkan tanda-tanda adanya percakapan. Tatapanmu mengarah ke depan, tatapanku mengarah jauh menelusuri Stadion Mandala Krida. Hanya bisik angin yang memainkan dedaunan kering, menerbangkan daun-daun itu menuju tempat ternyaman bagi mereka. Deru bus TransJogja mengisi kesepian gendang telingamu dan gendang telingaku. Kita sama-sama terdiam tanpa ungkapan yang mengalir melalui pita suara, tapi sebenarnya ada banyak kecamuk dalam diriku, untuk mengajakmu setidaknya bicara dan menyapa. Entah mengapa bibirmu dan bibirku kelu, bisu! Seakan-akan kita hanya butuh tatapan mata dan membiarkan angin menyampaikan pesan hati kita. Beberapa menit berlalu, waktu kembali berlari pada lintasannya, di ujung terik bagaskara yang menusuk kulit, kauucapakan kata-kata rindu, tumpah begitu saja dari bibirmu. Lalu... Sepi itu berubah menjadi tawa. Deru TransJogja berubah menjadi kebisingan yang menyenangkan. Sesuatu yang kita sebut jarak telah menyatukan kita pada satu titik, di mana aku dan kamu saling mengunci tatapan mata, keajaiban kecil yang kita sebut pertemuan.

Tertulis dengan sederhana untukmu, calon arsitek yang masih semester 4

Kamu adalah yang pertama. Pertama kali mengajariku rasanya duduk di sepada motor bersama dengan seorang pria, dan aku mematung kala itu. Kamu adalah yang pertama. Pria yang pertama kali menjadi sebab rasa grogi dan canggungku, saat mata kita saling bertatapan di Mister Burger kala itu. Kamu adalah yang pertama. Seorang Adam yang menyebabkan pipiku memerah karena tersipu malu menerima tangkai bunga darimu. Kamu adalah yang pertama. Pria bermata indah yang mengenalkan aku pada kekasih hati pertamanya, ibumu. Kamu adalah yang pertama. Seseorang yang pertama kali mengajarkanku untuk mengepakan sayap, juga seseorang yang mematahkan sayap-sayapku.

Untukmu, pria yang saat ini terpisah ratusan kilometer denganku

Kamu ingat sekarang tanggal berapa? 1 Februari 2012, apakah tanggal 1 masih menjadi tanggal yang begitu spesial untuk kita? Setelah tangan perpisahan menyebabkan kita saling menjauh. Setelah kata putus menjadi kesepakatan terbaik untuk kita berdua. Benarkah semua yang kita sepakati adalah yang terbaik? Apakah kaumerasakan bahwa hidupmu jauh lebih baik ketika perpisahan kita terjadi? Apakah hari-harimu masih berjalan normal? Ketika aku tak lagi mengisi hari-harimu? Aku tak menuntutmu untuk manjawab jika pertanyaanku malah membuatmu seakan-akan terlempar ke masa lalu. Seperti perkataanku dulu, bahwa aku tak akan menyakitimu dengan tanganku, dan aku tidak akan menyia-nyiakan kamu, walaupun perpisahan tetap saja jadi pilihanku dan pilihanmu.

Beberapa minggu ini, aku memang tak tahu kabarmu, bagaimana keseharianmu dan kuliahmu. Tapi, pentingkah hal itu kulakukan? Aku sudah melindungimu dalam kenangan, cukupkah? Aku selalu merindukanmu dalam pikiran, pantaskah? Aku selalu mengaliri hari-harimu dengan doa, masih bolehkah?

Aku kangen kamu begitu juga dengan ibu. Aku rindu bertemu dengan gecko peliharaanmu, ikan kecintaanmu, landak kesukaanmu, dan ayam kesenanganmu. Aku rindu rumahmu dan sepeda motormu. Aku rindu saat di mana kita bicara dan duduk di ruang tamu. Aku menyisir rambutmu sambil tertawa lepas, lalu kita menghitung jumlah rambutmu yang rontok. Kamu pria dan berambut panjang, aku wanita dan berambut pendek. Dulu, kita memang pasangan yang langka dan aneh. Hal-hal yang kita lakukan selalu berbeda dengan pasangan-pasangan lainnya. Tapi, kalau boleh jujur, justru keanehan itulah yang membuatku percaya bahwa rindu selalu punya jalan pulang. Jalan itu ada di hatimu, meletup dalam napasmu, merasuk masuk melalui nadimu. Jujurku menenggelamkan kemunafikanku. Nyatanya, aku (masih) merindukanmu.

Ada banyak hal yang membuatku tak bisa melupakan Yogyakarta. Ada banyak hal yang dimiliki Yogyakarta tapi tak dimiliki kota-kota lainnya. Ada beberapa hal yang selalu kurindukan dari kotaku, salah satunya adalah... senyummu.

Dari mantan kekasihmu
Yang sedang menyelamatkan mimpi-mimpinya
Yang masih mencium aroma tubuhmu di tubuhnya
Kalau kita masih bersama
tepat hari ini hubungan kita berusia lima bulan