01 November 2011

Terima kasih, Cina.

"Terkadang, suatu hubungan bisa saja tiba-tiba putus walau tanpa kata putus."

"Anak kita nanti bernama Bagas, Lintang, Langit, dan Laut." Ucapnya lugu seraya menarik-narik ingus yang membuat suaranya terdengar lucu. Aku hanya membalas perkataannya dengan tawa kecil yang tidak memekikan telinga.
"Matahari, Bintang, Langit, dan Laut. Sepertinya nama-nama anak kita nanti menyejukkan sekali ya. Mereka pasti jadi anak yang baik, tumpuan segala harapan kebaikan." Aku menanggapi pendapatnya, nampaknya dia sangat suka dengan ucapan yang kulontarkan tadi. Lalu, kami saling tertawa bersama. Mengganti topik nama anak menjadi topik agama dan ras.
Ya, pembicaraanku dengannya selalu saja berat, selalu saja tidak seperti pembicaraan orang yang sedang berpacaran. Seringkali kami berdiskusi banyak hal, persoalan yang awalnya buta dan gelap menjadi hal yang terlihat dan terang. Itulah masa yang tidak pernah aku temukan lagi saat ini, karena selalu saja masa lalu yang kita inginkan kembali, tidak akan pernah kembali.
Dia seorang mahasiswa berkacamata dengan tinggi badan sekitar 180 sentimeter. Bermata sipit, berhidung cukup pesek, berkulit putih, dan wajahnya memang tercipta sangat oriental dan sangat cina. Dia kuliah di fakultas teknik pertambangan, di salah satu universitas di daerah Yogyakarta. Seringkali dia menjelek-jelekan universitas tersebut karena tujuan awalnya adalah masuk Institut Teknologi Bandung atau lebih familiar disebut ITB. Dia sangat suka fotografi, tapi tak suka memotret manusia, "Aku lebih suka motret pemandangan daripada manusia. Motret manusia malah bikin grogi." Ungkapnya santai dengan tawa renyahnya. Pikirannya sangat idealis, dia punya konsep tersendiri tentang Tuhan dan agama. Dia punya konsep tersendiri tentang Yesus, Allah, Roh Kudus, dan Bunda Maria. Ya, dia selalu mengikuti jalan pikirannya, dia selalu tahu bagaimana cara melangkah mengikuti alur pikirannya.
Semua berjalan begitu absurd, tapi tak dapat dipungkiri bahwa segala hal yang kita lewati memang mengalir begitu indah. Dia mengatakan bahwa dia tak pernah seperhatian itu pada wanita, kecuali pada saya. Ya, awalnya dia memang sangat dingin, seringkali menghilang, seringkali berbicara seenak jidatnya, tapi semua bisa terlampaui begitu sukses, dia berubah, dia menjadi begitu indah. Itulah yang kami sebut cinta, mampu mengubah seseorang menjadi pribadi yang lebih baik.
Saya adalah ciri-ciri wanita yang agak sedikit penuntut. Ya, maksud saya menuntut seorang pria yang saya cintai menjadi lebih baik, saya menuntut pria tersebut melakukan perubahan dalam hidupnya, selama dia menghabiskan waktunya dengan saya, maka saya harus mengubahnya, maka dia harus berubah untuk saya dan untuk hubungan kita. Maka, kami harus berubah, menjadi dua orang yang saling jatuh cinta atas dasar kasih bukan atas dasar nafsu dan ketertarikan fisik. Seringkali cinta menciptakan penuntutan, penuntutan untuk mengubah pribadi menjadi lebih baik. Jujur, saya seringkali jatuh cinta pada pria penurut yang mudah diatur. Saya sangat menghargai seorang pria yang mau berubah untuk hal yang baik.
Dia pernah jadi seseorang yang penting dalam hidup saya. Dia pernah menjadi penenang amarah saya, dia pernah menjadi penyebab dari senyum saya, tapi itu dulu, masa dimana masih ada dia, masa dimana hanya ada tawa dan senyum malu-malu yang menghiasi perjalanan kita. Dia mengenalkan saya pada budayanya, dia mengenalkan saya pada dunianya, dia menjelaskan konsep Tuhan yang ia tahu pada saya. Ya, dia mengajari dan mengayomi saya, dia tahu persis bagaimana memperlakukan perasaan saya.
Jelas, kami pernah bertengkar hebat. Hingga beberapa hari kami tak saling berhubungan, tapi cinta tetaplah cinta, rindu tetaplah rindu, sulit untuk disembunyikan dan dilupakan. Hingga pada suatu ketika dia menulis di note facebooknya, bercerita tentang hubungan kami yang berjudul "Untitled 16". Saya terharu membacanya, saya menyangka bahwa pria sedingin dan secuek dia tidak mungkin bisa menulis sedalam itu. Saya tahu ini yang namanya cinta, selalu punya alasan untuk memaafkan.
Pertengkaran kecil kami yang detailnya tidak pernah saya lupakan, seringkali menggelitik rindu setiap mengingatnya.
"Matamu!" Ucapku kasar mengetuk keras gendang telinganya.
"Sipit, Cuk!" Timpalnya dilanjut dengan tawa lepasnya.
"Cino nyebahi!" Aku tak mau kalah, masih saja aku menggoda perasaannya.
"Jowo marai emosi!" Dia juga tak mau kalah, semonyong-monyongnya bibirnya dia lakukan hanya untuk menghujani saya dengan pertengkaran kecil yang disertai canda itu.
Cino dan Jowo, seringkali menjadi perpaduan yang baik jika berada di tempat yang seharusnya. Tapi, bisa jadi malapetaka jika tak bersatu pada tempat yang seharusnya.
Ah, tapi yah, sekali lagi saya katakan semua hanya kenangan, semua hanya pecahan puing-puing retak yang terpecah dari asalnya. Dia menjalani hidupnya sendiri, sayapun harus menjalani hidup saya sendiri. Memang tak pernah terpikirkan kita akan berpisah, karena semua mengalir dengan begitu indah. Tapi, ya memang semua harus berakhir, walau tanpa kata pisah dan kata putus, walau tanpa kalimat perpisahan dan kalimat mengakhiri. Terkadang, suatu hubungan bisa saja tiba-tiba putus walau tanpa kata putus.
Sekarang, dia mungkin sedang berbahagia dengan pilihannya. Dan, sekarang saya bahagia dengan pilihan saya. Saya tak perlu tahu apakah dia bahagia dengan pilihannya, yang saya tahu cerita kita pernah ada, walaupun memang sudah berakhir.
Terima kasih telah mengenalkan saya pada Seno Gumira Ajidarma dan karya-karyanya. Terima kasih pernah mengharapkan saya sebagai ibu dari anak-anakmu.