28 November 2010

Kangen

Aku kangen. Beneran. Mungkin ini terdengar aneh.
Namamu merangsuk masuk ke otakku diatas hapalan Biologi
yang terlanjur lebih dulu masuk ke otakku.

Kamu menggangu sekali
2 hari yang lalu, kemarin dan hari ini, kamu kembali
Dimana lagi?
Di otak dan hatiku kali ini!

Jujur
Aku benci.
Kamu datang, memberi kabar, lalu pergi tanpa permisi
Selalu dan selalu kamu sibuk sendiri!

Ingin rasanya, kamu segera saya miliki
Tapi, mengingat kata-katamu kemarin, aku menggigil
Kalau aku bom, aku sudah meledak dari kemarin
Sakit ya? Tapi itu realita, saya cuma butuh waktu untuk menerimanya.

Sore dan hujan.
Hujan khas Bogor.
Deras dan bau tanah basah

Saya gerah,
gerah ingin ke kota itu segera.
Segera menemukan hati yang pernah tertinggal di sana.
Jogja.

Kangen.
Berharap kamu tahu
walaupun sebenarnya kamu tak akan pernah tahu
Berharap kamu peduli
walaupun kamu tipe orang yang cuek setengah mati

Kangen
Tapi aku berusaha untuk tak kangen
Rumit ya? Kangen itu memang selalu rumit kok!
Lebih rumit lagi, kalau saya merasakannya tapi kamu tidak merasakannya
Cara terbaik adalah menahannya, melupakannya, atau mungkin membuangnya jauh dari otak saya, segera!
Berhasil atau tidak? Itu urusan belakangan.

Jika saya rindu, cukup menatap jendela
mengetuk-ngetuknya dengan tangan
 berharap nafasmu ikut berembun disitu.

Terobati atau tidak?
Itu urusan belakangan

lebih perasa, lebih PEKA

Pagi ini, saya bangun dengan mata benar-benar mengantuk. Seusai doa pagi dan saat teduh, saya membaca inbox handphone saya. Tidak ada pesan baru. Saya harus membiasakan diri untuk mengahadapi sepinya handphone akhir-akhir ini.
Tidak ada yang saya lakukan, menatap langit-langit kamar, dan suara arina ephipania memenuhi kamar saya, This Conversation. Saya mengingat suara mas yang kemarin saya dengar dari handphone dua hari yang lalu. Mas yang pernah saya ceritakan, pria yang tidak jenuh untuk mencintai ayahnya secara penuh.

Kami bercerita panjang lebar. Tentang keluarganya, perkembangan adiknya, dan beberapa poin yang sempat tidak dijelaskan tapi akhirnya dijelaskan juga. Tapi poin yang paling saya sukai adalah saat saya bertanya : "ada dua individu, dulu saling mencintai dan saling melindungi, setelahnya mereka memutuskan untuk berjalan masing-masing. Si wanita masih benar-benar mencintai pria tersebut tapi pria tersebut dengan cepat sudah naksir dengan wanita lain. Apa tampang benar-benar menjadi jaminan? Semua laki-laki itu sama ya! Heran!" Mas itu berpikir lama sekali. Rasakan! Skak mat

Beberapa menit kemudian..
Dia berkata, "Gini lho, Dek".
Saya menjawab, "Apa?"
"Setelah semua berakhir, akan ada banyak orang yang keluar masuk dalam hidup kita, entah itu menyenangkan atau tidak, tapi orang-orang yang keluar masuk tersebut pasti meninggalkan kesan dan rasa. Jadi mungkin, kemampuan untuk melupakan yang lalu itu agak cepat walaupun harus perlahan-lahan. Rasa itu bisa macem-macem, termasuk perasaan naksir dengan yang lain." Kata-katanya sih ga pasti kayak gini, tapi intinya sama seperti yang dia katakan.
"Oh" Saya menjawab pendek. Jawabannya tidak sesuai dengan yang saya mau. Dia menjawab secara umum. Padahal yang saya mau, dia juga mejelaskan kenapa dia melakukan hal yang sama? Mengakhiri dan naksir pada yang lain dengan begitu cepat.

Tapi kalau boleh saya berpendapat. Pendapat Mas itu ada benarnya, ada benarnya jika dirasakan oleh orang yang KURANG PEKA. Hidup seseorang itu, ya memang begitu. Ada yang datang dan pergi, lari dan berhenti, dan memang akan ada banyak orang yang mengisi. Tapi bagi seorang wanita, melupakan sesuatu yang pernah "mengisi" hidupnya itu tidak semudah pria mengganti pakaian atau mungkin pasangan. Dan, akan teramat sulit untuk melupakan seseorang jika wanita itu tidak hanya mencintai pria tersebut tapi juga mencintai keluarganya. Wanita, ya, memang seperti itu, sulit melupakan. Wanita bukannya bersikap berlebihan, tapi mereka memang lebih perasa dan peka.